iklan
Showing posts with label flash fiction. Show all posts
Showing posts with label flash fiction. Show all posts
Kumpulan Contoh Flash Fiction
#Flash_Fiction
Judul: Cinta Badi
Seperti biasa, aku melirik gadis manis di sebelah bangku. Sudah menjadi kewajiban, tak melirik tak indah hariku.
Siapa coba yang tak terbius kecantikan Tuti, gadis berlesung pipi, rambut tergerai indah. Duh, gila!
Novian juga, dia tak mau kalah. Mata tajamnya sesekali melirik ke arah bangku itu, sial! Woi, kamu sudah punya Titi. Apa masih kurang?! Kesal sih, tapi begitulah Tuti, banyak mendapat perhatian cowok - cowok di SMA tempatku menimba ilmu.
"Tut, tadi sewaktu pelajaran matematika, kulihat kau terus-terusan melirik ke arah bangkunya Badi," tanya Pujo saat jam istirahat.
"Kamu memperhatikan aku, Jo?" balas Tuti dengan tatapan aneh.
"Oke, oke. Tadi aku tidak sengaja kok, pas lihat kamu, eh pasti kamu lagi nengok ke arah bangkunya Badi, kamu naksir Badi ya?" ledek Pujo.
"Udah, Jo. Kasihan Badi, jangan jadikan ia bahan untuk bercanda!" timpal Tuti ketus.
"Cie ... cie, beneran cinta nih sama Badi!"
Pujo semakin menjadi. Agung, teman sebangkunya segera menengahi.
"Jo. Badi sudah berpulang ke sisi-Nya. Tolong jangan jadikan ia bahan candaanmu."
Suasana hening, serempak mereka melihat ke arahku, namun hanya bangku kosong yang mereka lihat, bangku yang dulu menjadi tempat terindah, untuk mencuri pandang.
~Selesai~
NB : ini hanya cerita fiktif belaka, dan jika ada kesamaan nama tokoh dan, ini benar-benar tidak disengaja.
25/01/2018.
__________________________________
Judul : Pinjam Tubuhmu Sebentar
Gadis kecil berusia sekitar sepuluh tahunan itu duduk di trotoar, terlihat sesekali ia menengok ke arah seberang jalan. Wajahnya sayu, baju yang dikenakan tampak dekil.
Sepertinya ada yang ia tunggu, karena dari raut wajah gadis itu tampak gelisah. Keringat di sekujur badannya menandakan jika tubuhnya tengah tidak sehat.
"Siapa yang kamu tunggu, Nak?"
Suara lembut perempuan setengah baya di depannya cukup membuat gadis kecil itu kaget.
"Ibu saya," ujarnya lemah.
Perempuan itu menatap dalam gadis itu, tak sadar airmata keluar dari pipinya.
"Kamu lapar, Nak?"
Perempuan setengah baya itu coba melanjutkan perbincangan, ia bisa merasakan apa yang gadis itu rasakan, sebab wajah gadis kecil itu tampak pucat.
"Saya menunggu Ibu yang sedang membeli nasi," ujarnya lagi.
"Ayo aku traktir kamu makan sepuasnya, Nak."
Perempuan itu meraih tangan gadis kecil itu, kebetulan tidak jauh dari tempat itu ada sebuah restoran mewah.
"Ibu tidak malu mengajak saya masuk?"
Gadis kecil itu menghentikan langkahnya, ia tak pernah sekali pun masuk ke dalam restoran semewah itu. Uang hasil ngamen di lampu merah hanya cukup untuk membeli nasi bungkus dengan Ibunya, sisanya mereka tabung untuk keperluan lain.
"Tidak, Nak. Ibu tidak malu, ayo kita masuk."
Perempuan setengah baya itu terus menatap gadis kecil di depannya, yang dengan lahap menyantap hidangan yang baru pertama kali ia rasakan seumur hidupnya.
"Boleh aku membawa pulang untuk Ibu," tanya gadis itu sambil menunduk sedih.
"Pesan saja, Nak. Berapa pun kamu mau."
Tak lama kemudian mereka pun keluar dari restoran tersebut dan kembali ke tempat di mana gadis kecil itu menunggu ibunya.
"Nak, ambilah uang ini. Belilah obat, sepertinya kamu tengah sakit, sisanya bisa kamu simpan untuk keperluanmu."
Mata gadis kecil itu terbelalak, segepok uang ratusan ribu itu berada tepat di depan matanya.
"Ini terlalu banyak, Ibu. Apa ini tidak salah?"
Perempuan setengah baya itu mendekap tubuh gadis kecil itu, ia elus rambutnya yang panjang tak terurus, kemudian mencium keningnya.
"Terimalah, Nak. Ibu akan sangat senang, jika kamu mau menerima."
Perempuan setengah baya itu meletakan uang itu di pangkuan gadis itu.
"Pulanglah, Ibumu sudah menunggumu di rumah." ujar perempuan setengah baya tersebut.
Mereka pun berpisah di perempatan jalan, gadis kecil itu mencium tangan perempuan setengah baya tersebut. Perempuan setengah baya itu memperhatikan gadis itu, hingga hilang di tikungan.
"Aku ibumu, Nak. Ibu pinjam tubuh perempuan ini, untuk mengobati rasa laparmu. Jaga diri baik-baik, karena kamu hanya akan menemui jazad ibu saja di rumah."
Entahlah, apa yang membuat Ibu dari gadis kecil itu meninggal dunia, saat akan membelikan nasi bungkus untuk anak tercintanya.
NB: ini hanya cerita fiktif belaka, dan jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat, ini benar-benar tidak disengaja.
11/03/2018
__________________________________
Judul: Prankkk...!!! Cermin Itu Pecah!
Dia menenggelamkan lagi kedalam lamunannya, lagi, lagi dan lagi. Ini sudah kesekian kalinya aku melihat, ada rasa iba acap kali melihat ia begitu. Aku prihatin, hanya nasihat yang bisa kulontarkan, untuk sekadar menyadarkan bahwa, apa yang dilakukan itu merupakan kesia-siaan semata.
Hidup tak ubahnya seperti kapal, jika badai datang, pasti kita akan merasakan guncangan, itulah gunanya kita pegang erat kemudi, agar mampu mengendalikan ombak. Bukankah hidup memang seperti itu, karena Tuhan pasti akan menguji semua ciptaan-Nya, seteguh apakah imannya pada Tuhan, karena memang demikian adanya hidup. Tak ada satu pun manusia yang berjalan di muka bumi ini dengan mulus, tidak ada!
Seperti pagi ini, ia masih sama, mengurung diri dalam lamunan, menutup segala celah, hingga sinar pun sudah tak lagi bisa menembus dinding jiwanya.
"Kau nyaris gila!" ujarku. Ia tajam menatap, aku terdiam.
"Sekali lagi kau ucapkan, aku habisi kau!" seringainya sudah tidak kukenal lagi.
Aku tatap, ia menatap.
"Maumu apa?! Kau senang seperti ini terus?! Kau biarkan harapan-harapan yang ada di kepalamu musnah ya!" bentakku keras.
Dia mengawasiku, aku pun sama, sesaat hening. Desah napas itu, desah tak sewajarnya, dan aku menjadi sangat khawatir.
"Bangun! Kamu harus bangkit!" aku teriak sekuat tenaga, berharap itu bisa membangunkannya.
Entahlah, tatapan macam apa yang dihadirkan olehnya, dan aku semakin takut, takut dan takut.
"Enyah kau!"
Prang! Cermin itu pecah, ia menghilang. Aku lari meninggalkan kamar sempit dan pengap, yang sudah seminggu kuhuni bersama ribuan dilema.
13/01/2018.
Semua kisah flash fiction di atas adalah kisah fiktif belaka, semoga bisa menjadi bacaan yang menghibur, dan kalian bisa juga membaca kisah - kisah fiktif lainnya di blog ini.
Terima kasih ð
31/12 /2018
Kumpulan Flash Fiction.
Pic. Kellepics/pixabay
Kumpulan Flash Fiction.
PINTU PUN TERBUKA
Pintu pun kubuka perlahan, aku tak ingin membuat seisi rumah terbangun.
Aku lanjut masuk ke dalam kamar, semua masih sama, hanya ada sedikit yang berubah saja, yaitu letak tempat tidur yang berpindah posisi.
Ada apa ini, kenapa rumahku sepi, apa seluruh penghuninya lagi pada keluar?
Kurebahkan tubuhku, rasa capek tak mampu kubendung, iya, aku lelah. Perjalanan dengan seseorang yang baru kukenal itu benar-benar membuatku lelah.
Kutatap langit-langit kamarku, entah kenapa mataku susah terpejam, padahal lelah sekali hari ini.
Deg!
Tiba-tiba aku teringat sesuatu, iya, aku teringat sesuatu yang membuatku terperangah.
"Apa aku masih hidup? Bukankah rumah ini beserta seisinya telah musnah terbakar!"
NB: ini hanya cerita fiktif belaka, dan jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat, ini benar-benar tidak disengaja.
08/03 /2018
==============================
Judul : RINDU
Dua kali lebaran sudah aku lewati tanpa senyum istri dan anak-anakku, kesalahan fatal memang pernah aku lakukan, dengan menelantarkan mereka selama bertahun-tahun.
Anak-anakku bahkan hampir tak mengenali aku, begitu pun istri yang pernah kugauli sebelumnya, "Ada apa, ini?" desahku tak berujung.
Ini lebaran ketigaku, ingin rasanya ada pelukan hangat dari orang-orang yang kusayangi, ada canda tawa pecah untuk mengusir sepikku.
Pada puncaknya, malam itu aku marah sejadinya, kuhantam kaca lemari tua di kamar yang pernah kutiduri, kamar yang pernah kujadikan tempat bersendau gurau dengan Rianti istriku, "Prang!!!!"
Aku kaget setengah mati, cermin itu pecah terburai, Rianti sontak terbangun, wajah kuyunya masih terlihat cantik seperti sepuluh tahun yang lalu, saat aku berpamitan hendak merantau ke Ibu Kota.
"Ani! Sini, Nak!" istriku berteriak histeri, tak lama kemudian anak tertuaku sampai di kamarku.
"Iya, Mak! Ada apa?" ujar anakku sambil menatap pecahan kaca di lantai.
Rianti langsung beranjak dan memeluk Ani, ia menangis sejadinya.
"Apa, ini pertanda jika bapakmu telah tiada, Nak?" pekik Rianti sambil mendekap Ani sekuatnya.
Aku terdiam, aku tatap satu-persatu wajah penuh kesedihan di depanku, tak terasa air mataku mengalir.
"Pantas, ternyata tubuhku belum di temukan." ujarku menahan kelu yang teramat dalam.
Sepuluh tahun yang lalu, aku memang di Jakarta, namun lima tahun kemudian aku terjerat dunia hitam, hingga pada akhirnya aku mati terbunuh dan mayatku di buang ke laut.
Aku tak menyangka, jika tubuhku belum di temukan juga, pantas istri dan anak-anakku tak pernah menyapaku lewat doa-doa yang selalu aku rindukan.
NB: ini hanya cerita fiktif belaka, dan jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat, ini benar-benar tidak disengaja.
26/02/2017
=============================
Flash_Fiction
Judul: Lima Sekawan
Menjelang magrib. Hiruk pikuk sudah mulai terasa, jalanan begitu ramai lalu lalang kendaraan bermotor. Seperti biasa, tahun baru adalah momen yang paling ditunggu hampir semua orang, apalagi ketika detik-detik pergantian tahun berlangsung, sungguh sesuatu yang punya rasa tersendiri.
Almira sudah siap dengan segala sesuatunya, janji berkumpul dengan keempat kawannya, memang sudah disepakati jauh-jauh hari, raut wajahnya tampak semringah, rindunya kepada Erlyna, Hasna, Jay, dan Egi, sudah tak mampu dibendung.
Di sebuah taman di pusat kota, mereka akhirnya berkumpul, canda tawa tak terelakan lagi, segala rindu mereka tumpahkan. Malam kian larut, detik-detik pergantian tahun pun tiba, seluruh pengunjung yang berada di taman itu mulai menghitung mundur.
Duar! Kembang api pun meletus, dan pecah di langit, membiasakan beraneka warna, sungguh malam yang indah, langit bertahta percikan cahaya kembang api, dari segala penjuru. Banyak juga yang coba mengabadikan momen tersebut, dengan merekamnya melalui ponsel yang mereka bawa.
Malam pergantian tahun yang sangat meriah, suka ria tampak sekali di wajah - wajah para pengunjung, begitu juga kelima sahabat itu. Hingga mereka lupa, jika dunia mereka sudah tak sama lagi.
NB: ini hanya cerita fiktif belaka, dan jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat, ini benar-benar tidak disengaja.
12/01/2018
==============================
Flash_Fiction
Judul: Di Pinggiran Kota
Di sebuah restoran mewah, seorang anak kecil berbadan kurus, berbaju dekil, tengah asik mengamati orang - orang yang dibilang berduit sedang bersantap ria. Matanya tak pernah lepas menatap di salah satu meja paling dekat dengan tempat ia duduk, di sebuah pot bunga besar, yang terbuat dari semen dan pasir. Yang kebetulan berada di antara pintu masuk. Sesekali ia menelan ludah, lalu kembali melanjutkan untuk memperhatikan keluarga yang terlihat kaya itu. Mereka memesan begitu banyak makanan, hingga meja terlihat penuh, padahal di meja itu cuma ada empat orang, namun porsi yang dipesan sepertinya cukup untuk enam orang.
Anak kecil itu begitu tabah, tak sedikit pun beranjak. Ia tak menengadahkan tangan, padahal banyak orang berlalu lalang di depan tempatnya duduk, ada karung plastik juga gancu kecil, mungkin saja anak itu pemulung.
Tak lama kemudian, keluarga itu selesai menyantap makanan yang ada di meja, namun masih terlihat jelas jika masih banyak sisa-sisa lauk yang ada, tidak mungkin juga habis, kan memang sudah terlihat sekali, porsi yang dipesan itu melebihi jumlah keluarganya.
Anak kecil berbaju lusuh itu pun beranjak dari duduknya, lalu ia pergi meninggalkan restoran mewah tersebut, sesekali ia usap perut tipisnya, mungkin dia menahan lapar, karena seharian berjalan mencari barang yang bisa ia jual kembali di pengepul barang bekas.
"Nak, berhenti!"
Dia menoleh, panggilan itu datang dari seorang penjual kaki lima yang kebetulan mangkal dekat restoran itu.
"Kamu lapar, Nak?" tanya lelaki setengah baya itu. Mungkin saja beliau memperhatikan tingkah bocah itu.
"Tidak, Pak." jawabnya lirih.
"Tadi kulihat kau mengelus perutmu, ayo makan bersama bapak, biar aku yang bayar," ujarnya.
"Terima kasih, Pak. Biar saya makan sama keluarga di rumah, biar kami sama-sama makan nasi dan lauk yang sama dengan adikku," jawabnya tanpa ekspresi.
"Tapi, Nak. Kau tampak ingin sekali makan di tempat itu, tadi bapak memperhatikanmu." timpal pedagang kaki lima.
"Iya, tapi dengan menelan ludah, saya sudah cukup kenyang, Pak." kata anak kecil itu.
Bapak penjual kaki lima itu melongo, jawaban yang tak pernah ia duga, keluar dari anak sekecil itu, yang sudah jelas-jelas ia tak mampu untuk masuk ke restauran itu, si bapak cuma bisa terdiam. Begitu hebatnya didikan orangtua anak tersebut, meski dalam keterbatasan hidup, namun tangannya tetap tak mau menengadah demi mencari belas kasihan.
"Maaf, kok bapak bisa melihatku?" ujar anak itu, sesaat kemudian tubuhnya lenyap meninggalkan pedagang kaki lima, betapa semakin terperanjatnya lelaki itu.
NB: ini hanya cerita fiktif belaka, dan jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat, ini benar-benar tidak disengaja.
10/01/2018
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semoga cerita flash fiction di atas bisa menjadi bacaan yang menghibur buat kalian yang sedang membaca.
Sekian dan terima kasih.
27/12 /2018
Kumpulan Flash Fiction Contoh.
Kumpulan Flash Fiction Contoh.
Di Ruang Tunggu.
Aku terdiam meskipun duduk bersebelahan dengan Ayah. Bukan karena aku tak sayang, dan bukan karena aku durhaka. Namun.... Ah, entahlah.
"Kamu kenapa, Mas?"
Aku tersentak.
Iya, aku lupa! Ternyata aku datang ke rumah sakit bersama Nania istriku.
"Ah..., tidak, tidak ada apa-apa, Dik. Boleh kupinjam ponselmu?"
"Kehabisan pulsa lagi ya, Mas?" ujar Nania sambil memberikan ponsel kepadaku.
"Terima kasih."
"Mau nelpon siapa, Mas?" Nania coba menahanku saat aku akan beranjak pergi ke luar dari ruang tunggu.
"Keluarga besar kita, Dik. Ayah, meninggal dunia."
Nania segera berlari ke ruang IGD, untuk memastikan apa yang baru saja kukatakan.
Tegal 20/12/2018
--------------------------------------------------------
#Flash_Fiction
Singgasana
Aku bahagia, punya orangtua yang sangat penyayang, punya adik perempuan lucu dan menggemaskan.
Rumah yang kuhuni tak sebesar kepunyaan Andre, tak semegah milik Antony, namun kudapatkan semua di rumah kecil milik kedua orangtuaku. Hari-hari serasa menyenangkan, suara pecahan tawa adik, suara lembut Ibu, petuah-petuah Ayah, begitu asik mewarnai.
Aku pernah bertengkar sama adik, mungkin itu tak akan kuulang lagi, seisi rumah tahu, jika adik mempunyai kursi khusus, yang tidak boleh siapa pun duduk di situ, entahlah, Angeli begitu memfavoritkan kursi kayu tersebut, padahal tidak bagus-bagus amat, namun seakan kursi itu sudah menjadi singgasana tersendiri buat dia.
Dasar konyol kamu, Dik. Apa bagusnya coba? Di ruang tamu ada satu set kursi, lebih empuk, lebih nyaman jika untuk duduk. Ah, dasar bandel. Sebelah kaki kursi itu juga sudah ada paku yang kendur, kamu marah besar waktu Ayah akan membetulkannya, kamu rela menangis sekuat tenaga, agar kursi itu tetap demikian adanya. Dasar bandel, namun lucu juga, keunikanmu malah menjadi hiburan tersendiri buat kami, menjadi bahan candaan di saat aku suntuk.
Kini aku berdiri tepat di depan singgasana milik Angeli, kuamati kursi yang terbuat dari kayu jati itu. Aku penasaran saja, ada apanya sih? Lalu aku dudukki. Sekitar lima menit, coba kurasakan sensasi apa yang membuat adikku begitu mengistimewakannya.
"Kakak! Jangan duduk di kursi adik!"
Jantungku nyaris copot, Angeli menatapku tajam. Aku bergeming.
"Dik, kamu kan sudah meninggal?!" pekikku.
Tegal 22/01/2018
-------------------------------------------------------
#Flash_Fiction
Judul: Perjalanan
Aku bukan perantau yang sukses seperti sebagian temanku. Mereka cukup uang, cukup sandang, tentu juga cukup makan. Meski sama-sama hidup di kontrakan.
Umurku sudah tidak muda lagi, saat ini menginjak tigapuluh tahun, seharusnya saat ini sudah ada anak beserta istri. Namun dengan penghasilan yang pas-pasan, menikah menjadi suatu momok yang mengerikan buatku, aku tak mampu membiayai itu semua, kedua orangtua juga cuma menjadi buruh tani.
Hidup tetap harus kujalani, walau seluruh tenaga yang telah kucurahkan belum mampu untuk membeli kebahagiaanku, tapi rasa syukur mengalihkan letih ini.
Di kontrakan yang seadanya, di gang sempit, juga menjadi langganan banjir di saat hujan, aku sudah terbiasa.
Kehidupan bukanlah untuk menyesali apa yang tengah di hadapi, kehidupan ialah bergerak. Tuhan sangat mencintai ciptaan-Nya, yang selalu berusaha untuk maju, bukan cuma berpangku tangan mengandalkan belas kasihan orang.
Teringat nasihat Ibu, jika manusia itu mesti pasrah kepada Tuhan, kita boleh berharap, tapi semua penentu itu mutlak milik-Nya. Namun ihktiar dan doa tidak boleh lepas. Aku pegang erat-erat.
Sudah lebih dari lima tahun aku tidak pulang kampung, bukan karena lupa Bapak dan Ibu, tapi aku tidak ada uang lebih untuk sekadar membeli tiket kereta maupun bus.
Mudik menjadi hal yang paling berharga untukku, dada ini bergetar hebat, ketika melihat teman - teman seperantauan pulang kampung, tak jarang sudut mataku sembab oleh airmata, menahan rindu yang teramat sangat. Aku kangen kalian, kangen orang-orang yang paling berarti dalam hidupku, kedua orangtua, juga kedua adik-adikku.
"Sepertinya sebentar lagi kita sampai."
Aku terkesiap dari lamunan.
Betapa haru hati ini, deretan sawah-sawah menghijau tempatku bermain dulu, masih sama. Di sini Bapak menggarap sawah milik tetangga desa, aku paling suka jika Bapak mengajakku, asik berlarian di pematang sawah, hingga tak jarang harus tergelincir karena licin.
Adik-adikku paling suka, jika sudah kucarikan belut, bisa sampai sepuluh hingga duapuluh ekor kudapatkan. Karena belut menjadi makanan paling mewah di keluarga kami.
"Nah itu rumahnya."
Bapak di sebelahku melihat peta lewat GPS, aku tahu itu juga dari Nano temanku, yang kebetulan mampu membeli ponsel mahal, kalau aku cukup puas memakai ponsel jadul, itu pun dapat nyicil lewat teman.
Ingin rasanya membelikan Bapak ponsel, jadi bisa nelpon kapan pun untuk mengetahui keadaan keluarga di kampung. Namun apa daya, gaji sebagai kuli serabutan belum cukup untuk memenuhi keinginanku. Biaya hidup di kota besar sangatlah mahal, kontrakan pun sering naik, dan aku tak kuasa.
Mobil berhenti tepat di depan rumahku.
Aku hanya bisa diam seribu bahasa, mulutku kelu. Orangtuaku pingsan, kedua adikku histeris, saat tubuhku diturunkan dari mobil jenazah.
Tegal 19/03/2018
--------------------------------------------------------
#Flash_Fiction
WARNA
Tiga gadis cantik dan juga seksi tengah berbincang seru, sementara Ray sungguh tak mau tahu.
"Lihat, Ray mulai mengambil pewarna! Ah, sungguh itu pewarna bibir yang indah untukku!" ucap Egiliana girang.
"Apa? Kamu suka warna merah menyala? Erggg ... kampungan ih!" timpal Susi.
"Iya! Pemerah bibir itu yang gak norak dong, Egi! Digodain om-om genit loh nanti!" Endang ikutan nimbrung.
Kring... Kring...!
Suara telepon kabel di rumah Ray berbunyi nyaring.
"Ray, jangan angkat panggilannya, selesaikan dulu kerjaanmu dong!" teriak Egiliana.
Terlambat, Ray beranjak dan meraih gagang telepon itu, perbincangan terlihat sangat serius sekali, sesekali Ray meremas rambutnya yang keriting lebat itu.
Tak lama kemudian Ray bangkit dan menemui ketiga gadis itu, wajahnya memancarkan kekecewaan.
"Loh... loh, Ray!" ketiga gadis itu berteriak serentak.
Ray kesal, sketsa baju bergambar tiga gadis itu ia remas - remas sampai hancur, pesanan tiba-tiba dibatalkan tanpa alasan yang jelas.
Tegal 16/09/2017
NB: ini hanya cerita fiktif belaka, dan jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat, ini benar-benar tidak disengaja.
21/12/2018.
(Flash Fiction Contoh) Judul: Bulan Purnama.
(Flash Fiction Example) Judul: Bulan Purnama.
Bulan bulat menggantung di langit, itu tandanya purnama telah tiba. Ario kembali cemas, seperti purnama - purnama sebelumnya.
"Ayah! Ini bulan purnama!"
Ario tersentak dari lamunannya, Amel begitu bersemangat mengabarkan perihal purnama, yang sebenarnya ia pun sudah tahu.
"Kenapa kamu tidak tidur saja, Nak. Bukankah ini sudah terlalu larut."
"Tidak, Amel tidak mau tidur, ayo kita jemput, Ibu!"
Ario terdiam, ia tak mampu menatap wajah anak perempuannya, ia tidak tahu harus bagaimana.
"Amel, kita tidur saja ya, purnama pasti akan datang lagi kok."
Lelaki itu mencoba membujuk anaknya, ia berharap itu akan berhasil, namun ternyata tidak.
"Amel mau menjemput, Ibu!"
Anak itu memang keras kepala, ia pun berlari ke luar, untuk menjemput Ibu di tempat yang pernah diceritakan oleh Ayahnya.
Ario pun segera mengejar, lelaki itu tidak punya pilihan lain selain mengikuti langkah anaknya.
"Berhenti, Nak. Tolong dengarkan Ayah!"
Amel sudah tidak mau mendengarkan lagi apa yang diucapkan Ayahnya, ia terus saja berjalan menuju sebuah tempat yang pernah diceritakan Ayahnya.
"Ayah, Amel sudah rindu, Ibu! Amel ingin mendengarkan kembali nyanyiannya!"
"Bagaimana kalau Ayah yang menyanyikannya, Nak!"
"Tidak! Amel ingin Ibu yang menyanyikan untukku!"
Anak itu mulai terisak, Ario mendekap erat putri kecilnya. Airmata Ario pun ikut luruh dari sudut - sudut matanya.
"Amel rindu, Ibu."
Tangisnya semakin menjadi, Ario terdiam. Sesekali ia mengusap airmata anaknya yang sudah tak terbendung itu.
"Boleh Ayah berbicara sesuatu, Nak."
Suara lelaki itu tampak berat sekali, sesaat ia pun ragu, namun semuanya harus di akhiri.
"Nak, dengarkan Ayah. Kamu harus tahu sekarang juga, karena Ayah sudah lelah menyimpan kebohongan ini kepadamu."
Ario memeluk putrinya, ia benamkan wajah anak itu di dadanya, ia ingin menjadi samudera yang mampu menenggelamkan kesedihan anaknya.
Perlahan Ario pun menyanyikan lagu 'Ambilkan Bulan, Bu' dan airmatanya pun kembali berlinang dari sudut - sudut matanya, namun ini lebih deras dari yang tadi.
"Tidak mau! Amel ingin Ibu yang menyanyikannya!"
Putri kecilnya semakin histeris, malam lengang pun seolah ikut haru menyaksikan mereka.
"Nak, Ibu tidak pernah pergi ke bulan seperti apa yang telah Ayah ceritakan kepadamu."
Ario menenggelamkan wajahnya, ia takut menatap mata anaknya yang seakan menghakiminya.
"Ayah bohong! Ayah bohong!"
Amel histeris, ia pukul lengan Ayahnya berulangkali, sambil terus mengucapkan kata 'Ayah bohong!'
Ario mendekap erat Amel, lelaki itu pun bingung, namun semua harus berakhir malam ini juga, sebab ia tak ingin kebohongan ini terus berlanjut.
"Kita sudah meninggal, Nak. Dunia kita dan Ibumu pun sudah berbeda."
NB: Ini hanya kisah fiktif belaka, jika ada kesamaan nama tokoh dn tempat, ini benar-benar tidak disengaja.
13/12/18.
(Flash Fiction Contoh) Di Sela Waktu Aku Menunggumu, Kekasih.
Di Sela Waktu Aku Menunggumu, Kekasih.
Senja mulai terlihat di langit, kawanan burung mengepakan sayap untuk pulang ke koloninya masing - masing. Lalu lalang orang - orang yang akan pulang maupun pergi masih begitu jelas terlihat menambah daftar cerita hari ini.
Hari yang terlukis begitu tenang, meskipun tidak dengan hati seorang anak berusia belasan tahun tersebut. Seorang bocah yang terus menatap ke langit, dan matanya tampak begitu kosong. Apakah ada yang mengganggu pikirannya?
Entahlah, seraut wajah polos tanpa ekspresi itu sudah berjam - jam duduk tanpa seorang pun teman, sendiri menikmati kesepian yang mungkin saja ia ciptakan sendiri, mencari hening di antara riuhnya penghuni semesta, atau bisa saja ia tengah jengah menghadapi apa yang tengah ia hadapi. Bukankah masalah itu bisa datang kepada siapa pun juga, termasuk anak berusia belasan tahun tersebut.
Kenapa aku begitu memerhatikan anak itu, yang jelas - jelas tidak kukenal. Mungkin juga ini sebuah pengalihan perasaanku saja, yang mulai jenuh menunggu kepulangan May kekasihku. May biasa turun di halte ini, dan seperti biasa aku jemput ia pada sabtu sore.
Halte tempat menunggu May kekasihku tersebut memang sangat bagus, sebab tidak jauh dari tempat itu ada taman kecil dengan dua bangku taman, mungkin saja taman itu memang dibuat pihak pengelola lingkungan kota ini untuk melepas kepenatan orang - orang yang sedang lama menunggu. Ah, mungkin saja begitu! Dan aku pun sudah berada di dekat anak kecil tersebut, entah kenapa aku iba melihatnya.
"Sedang apa, Nak?"
Sebuah pertanyaan standar untuk membuka sebuah percakapan sudah kulontarkan. Anak itu menoleh dan menatapku. Namun tidak beberapa lama kemudian ia menggelengkan kepalanya.
"Kamu sedang mencari menunggu seseorang? Atau mungkin orangtuamu, Nak?"
Dua pertanyaanku sudah keluar dari mulut dan ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun untuk menjawab. Aku tidak kesal seperti biasanya, sebab wajah anak itu begitu menyiratkan kepedihan, aku jadi iba melihatnya.
"Kamu dimarahi orangtuamu, Nak?"
Ia kembali menggelengkan kepalanya dan aku semakin putus asa, harapanku dengan mengobrol dengannya itu akan mampu mengobati kejenuhan selama menunggu May yang belum juga datang, namun kenyataannya tidak! Aku malah menjadi bingung.
"Saya tidak berani pulang!"
Aku terhenti, iya aku terhenti! Sebab aku sudah akan beranjak untuk meninggalkan anak tersebut, bukan lantaran aku marah, namun karena aku sedang berusaha untuk memberikan kesempatan untuk anak itu, siapa tahu dia memang sedang butuh waktu untuk sendirian.
"Kenapa, Nak?! Bukankah ini sudah hampir malam, dan orangtuamu pasti sedang mencari!"
Aku hanya berusaha untuk menjawab, dan semoga saja anak itu mau pulang ke rumah, agar orangtuanya tidak mencemaskannya.
"Saya tidak berani pulang, Om! Tubuhku hilang di sungai siang tadi!"
Aku lemas. Pandanganku sontak kabur. Selesai berbicara seperti itu, anak tersebut benar-benar menghilang dari pandangan mataku.
Selesai
NB : ini hanya cerita fiktif belaka dan jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat, ini benar-benar tidak disengaja.
06/12 /2018.
(Flash Fiction Contoh) Gea, Apa Yang Kau Rasa?
(Flash Fiction Contoh) Gea, Apa Yang Kau Rasa?
Wanita cantik itu ternyata Gea namanya, berperawakan sedang, berkulit kuning langsat dan bermata indah. Pribadinya begitu menyenangkan, mudah bergaul dan tidak memandang siapa mereka.
Gadis berusia sekitar 20 tahunan itu pindahan dari Ibu Kota. Namun dia cukup cepat beradaptasi dengan lingkungan, kebetulan juga di daerah itu banyak kaum remaja, jadi mereka cepat larut dan berbaur.
Ayah Gea katanya pernah bekerja di perusahaan swasta, dan Beliau juga katanya pernah menjabat sebagai kepala di sana. Itu sih menurut desas-desus yang santer di kampung tempat Gea tinggal sekarang. Mamanya dia bilang sudah lama meninggal dunia dunia, sejak Gea masih duduk di bangku SMP.
Gea katanya anak tunggal, makanya dia kesepian di rumah, dan memilih berbaur dengan teman - teman barunya. Anaknya begitu periang dan berbicara pun apa adanya.
"Gea, kamu kenapa belum punya pacar? Kan kamu cantik."
"Aku belum memikirkan hal itu, Ayah bilang aku harus bekerja terlebih dahulu."
"Kan ayah kamu kaya, kenapa kamu mesti susah payah mencari pekerjaan?"
"Ayah ingin aku tahu rasanya memeras keringat katanya."
"Oh, begitu ya?"
"Iya. Memang begitu kata Ayah."
Anak itu terlihat polos, walau dia pindahan dari Ibu Kota, namun cara bicara dan bergaul pun tidak menunjukkan jika dia anak kota. Dia rendah hati, oleh karena itu baru seminggu saja pindah, sudah banyak mendapat teman.
"Oh, iya. Kamu kenapa tidak pernah keluar kalau siang hari? Bukankah lebih panjang waktu untuk bermain dan mengobrolnya."
"Maaf, kalau siang aku sibuk sekali. Banyak pekerjaan yang harus aku lakukan."
"Apa harus setiap hari?"
"Iya. Maaf, aku harus pulang sekarang juga, nanti Ayah mencariku."
Lelaki bernama Doni ini yang sering bertemu dengan Gea, sepertinya Doni mulai menaruh hati kepada gadis baru itu. Namun dia belum berani untuk mengungkapkan, mungkin saja menunggu waktu yang pas.
Sudah berhari-hari Gea tidak keluar rumah, Doni gelisah. Namanya juga juga sedang dilanda asmara, jadi wajar jika Doni ingin selalu bersama dengan sang pujaan hati.
"Duh, kenapa tidak pernah kepikiran minta nomor ponselnya ya!"
Gerutu Doni, lelaki itu baru menyadari kenapa selama ini ia malah asik mengobrol, sampai - sampai lupa bertukar nomor.
"Aku harus kerumah Gea. Sebab siapa tahu dia sedang sakit."
Doni pun membeli buah - buahan, rasanya kurang pantas jika baru berkunjung ke rumah calon mertua tanpa buah tangan, pikirnya. Setelah membeli buah, Doni pun meluncur ke rumah Gea malam itu juga.
Rumah Gea nampak sepi, namun dari arah dalam terdengar alunan musik instrumen klasik, nada-nadanya terdengar begitu menyayat sekali. Doni merasa merinding mendengar musik itu, apalagi Doni sudah terbiasa mendengar lagu dangdut.
Setelah mengetuk pintu, keluarlah seorang Bapak yang sudah terlihat rapuh, ia berjalan seperti diseret kakinya, mungkin saja dulu pernah terserang darah tinggi.
"Kamu nyari Gea?"
Bapak itu langsung to the poin, Doni clingak-clinguk. Ia bingung kenapa bapak di depannya bisa langsung tahu dan tanpa basa-basi.
"Gea! Mau sampai kapan kau seperti ini, Nak?!"
Bapak itu berbicara rada keras, Doni pun terperanjat. Ia takut jika ternyata hubungan mereka tidak disetujui, ia khawatir jika Gea tidak keluar karena ulahnya.
"Maaf, Pak. Saya hanya berteman saja sama Gea."
Doni segera menyanggah, ia tak ingin lebih memperparah keadaan Gea.
"Ketahuilah, Nak! Bapak itu tinggal sendirian di sini, Gea memang anak bapak. Namun ia telah meninggal kecelakaan bersama Mamanya."
Bapak itu menangis sesenggukkan, Doni pun terdiam seribu bahasa.
05/12/2018
(Flash Fiction Contoh) MISTERI KENCAN TERAKHIR.
#Flash_Fiction
(Flash Fiction) MISTERI KENCAN TERAKHIR.
Di sebuah cafe, pukul 9 malam aku duduk di kursi yang paling ujung sebelah kanan. Sengaja aku memilih tempat tersebut, karena selain nyaman, aku bisa melihat pemandangan yang begitu indah di sekitar cafe tersebut, yaitu sebuah bukit yang tampak gemerlap karena bermandikan cahaya dari rumah - rumah warga penghuni sekitar lereng bukit tersebut.
Aku masih menunggu seseorang, kami sudah janji ingin bertemu di cafe yang biasa dijadikan sebuah pertemuan dua bulan belakangan ini, yang sebelumnya kami hanya chat, namun kini hubungan kami sudah naik ke level yang lebih berani.
Tidak beberapa lama kemudian perempuan yang kutunggu sudah tiba, dia terlihat anggun dengan memakai gaun berwarna pink, polesan makeup yang sederhana, justru semakin menambah kecantikan wajahnya. Iya, aku memang lebih menyukai perempuan dengan makeup yang sederhana, ketimbang yang terlihat menor, maaf aku malah jijik jika melihat perempuan yang berdandan terlalu berlebihan, entahlah!
"Sudah lama menunggu, Bang?"
"Oh, belum kok, Dik. Paling baru sekitar satu abad."
Aku memang suka bercanda, karena bagiku hidup tidak usah dibikin tegang, karena dengan bercanda sama saja menghibur diri sendiri dan juga lawan bicara.
"Abang bisa aja!"
Perempuan itu mencubitku, dan aku coba untuk mengaduh manja, meskipun cubitannya tidak menimbulkan efek rasa sakit sama sekali.
"Kamu cantik sekali malam ini, Dik. Abang sangat kagum sekali."
Aku coba mengungkapkan apa yang terlihat dari sosok perempuan berbadan langsing, berkulit kuning langsat dan memang ia terlihat anggun sekali malam ini.
"Sudah ah, jangan gombal terus! Aku jadi malu, Bang!"
"He... he... he. Duduklah, Dik."
Kutarik kursi yang ada di depanku dan mempersilakan bidadariku untuk duduk manis.
"Oh ya, mau makan malam apa kita?"
Aku lebih suka jika dia yang memilihkan menu saat kami sedang makan bersama, sebab aku tak ingin jika harus berdebat soal menu makan, jadi apapun menu yang dia pilih aku selalu suka dan mencoba suka.
"Aku tidak makan untuk malam ini, Bang. Kamu saja ya, biar kutemani."
"Kenapa, Dik? Bukankah kita sudah sepakat untuk makan malam hari ini?"
"Iya, tapi entah kenapa perutku belum merasakan lapar, Bang!"
"Apa kamu lagi diet?"
"Gak, Bang. Aku memang tidak lapar saja. Pesenin lemon tea saja untukku."
"Oke - oke, aku tak mau memaksamu. Baiklah, jadi hanya aku yang makan nih?"
Perempuan di depanku mengangguk. Aku segera memesan makanan untukku dan juga dua lemon tea.
Suasana cafe yang remang-remang, serta lantunan lagu - lagu romantis membuatku larut dalam suasana. Sambil makan sesekali aku mencuri pandang pada sosok perempuan yang berada di depanku. Sungguh! Dia sangat anggun sekali malam ini, dadaku bergemuruh hebat, saat aku semakin dalam mengamati wajahnya.
"Kau terlihat berbeda malam ini, Dik."
Entah, kenapa tiba-tiba aku ingin lebih lama menatapnya.
"Abang terusin dulu makannya, setelah selesai, baru kita ngobrol."
"Kamu lebih menarik perhatianku, Dik. Ketimbang spaghetti ini."
Ujarku sambil masih menatap dalam wajah Aliea kekasihku, perempuan yang aku kenal dua bulan lalu, lewat sebuah grub WA yang kuikuti. Awalnya kami hanya saling berbalas komentar, namun lama-lama berlanjut ke chat secara pribadi, dan akhirnya kami sepakat untuk jadian.
"Dik, selama kita jadian, aku maupun kamu tidak pernah memanggil sayang. Bukan lantaran aku iri dengan teman-teman yang biasa memanggil sayang kepada pacarnya, namun entah kenapa, malam ini aku ingin memanggilmu sayang, begitu juga sebaliknya."
Aliea tampak tersipu malu, aku bahagia. Semoga saja ia tidak keberatan akan permintaanku ini.
"Iya, aku akan memanggilmu sayang, Bang."
Aku bahagia mendengar kata sayang, yang keluar dari mulut perempuan cantik di depanku, perempuan yang sudah resmi jadi pacarku dua bulan lalu.
"Aku bahagia, Dik. Eh, sayang."
Aliea tersipu, ia coba menutupi wajahnya dengan telapak tangannya yang terlihat lentik sekali. Ah, apa yang ada padamu memang begitu indah di mataku.
"Sayang, aku mengucapkan terima kasih untuk semuanya. Semua yang sudah kau berikan kepadaku."
Aku memegang tangan Aliea yang sudah berada di antara gelas lemon tea.
"Terima kasih untuk apa, Bang. Eh, sayang."
Aliea dan aku masih terlihat kaku untuk memanggil sayang, mungkin karena sudah terbiasa memanggil abang dan adik, jadi ya wajar saja.
"Semuanya. Semua yang sudah kamu berikan, perhatian, waktu dan masih banyak lagi."
"Iya, aku juga demikian. Selama ini aku merasa nyaman denganmu, sayang." ujar Aliea.
"Dengan begitu, aku jadi lebih tenang sekarang, sayang."
"Iya, semoga kau tenang di alam yang baru kau pijak, sayang."
Aliea meneteskan airmata. Ia tidak sanggup lagi untuk berkat apa - apa. Suasana cafe masih sama, dengan lampu yang temaram dan alunan musik lembut.
Aliea segera membayar spaghetti dan dua lemon tea yang masih utuh di hadapannya. Lalu ia memutuskan untuk pulang dalam keadaan yang begitu sakit, karena malam itu adalah kencan terakhirmya bersama Prasetiyo, lelaki yang sudah memberikan arti dalam hidupnya, lelaki yang begitu cepat meninggalkannya, karena serangan jantung mendadak.
Malam itu entah kenapa Aliea sangat ingin pergi ke cafe tempat ia biasa makan berdua dengan Prasetiyo, namun perasaan itu terjawab, sebab tanpa sadari, ia mampu melihat Prasetiyo kekasihnya yang telah meninggal seminggu yang lalu.
Selesai
NB : ini hanya kisah fiksi belaka, jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat, ini benar-benar tidak disengaja.
14/11 /2018.
Flash Fiction Contoh - Saat Menunggu May
Senja mulai terlihat di langit, kawanan burung mengepakan sayap untuk pulang ke koloninya masing - masing. Lalu lalang orang - orang yang akan pulang maupun pergi masih begitu jelas terlihat menambah daftar cerita hari ini.
Hari yang terlukis begitu tenang, meskipun tidak dengan hati seorang anak berusia belasan tahun tersebut. Seorang bocah yang terus menatap ke langit, dan matanya tampak begitu kosong. Apakah ada yang mengganggu pikirannya?
Entahlah, seraut wajah polos tanpa ekspresi itu sudah berjam - jam duduk tanpa seorang pun teman, sendiri menikmati kesepian yang mungkin saja ia ciptakan sendiri, mencari hening di antara riuhnya penghuni semesta, atau bisa saja ia tengah jengah menghadapi apa yang tengah ia hadapi. Bukankah masalah itu bisa datang kepada siapa pun juga, termasuk anak berusia belasan tahun tersebut.
Kenapa aku begitu memerhatikan anak itu, yang jelas - jelas tidak kukenal. Mungkin juga ini sebuah pengalihan perasaanku saja, yang mulai jenuh menunggu kepulangan May kekasihku. May biasa turun di halte ini, dan seperti biasa aku jemput ia pada sabtu sore.
Halte tempat menunggu May kekasihku tersebut memang sangat bagus, sebab tidak jauh dari tempat itu ada taman kecil dengan dua bangku taman, mungkin saja taman itu memang dibuat pihak pengelola lingkungan kota ini untuk melepas kepenatan orang - orang yang sedang lama menunggu. Ah, mungkin saja begitu! Dan aku pun sudah berada di dekat anak kecil tersebut, entah kenapa aku iba melihatnya.
"Sedang apa, Nak?"
Sebuah pertanyaan standar untuk membuka sebuah percakapan sudah kulontarkan. Anak itu menoleh dan menatapku. Namun tidak beberapa lama kemudian ia menggelengkan kepalanya.
"Kamu sedang mencari menunggu seseorang? Atau mungkin orangtuamu, Nak?"
Dua pertanyaanku sudah keluar dari mulut dan ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun untuk menjawab. Aku tidak kesal seperti biasanya, sebab wajah anak itu begitu menyiratkan kepedihan, aku jadi iba melihatnya.
"Kamu dimarahi orangtuamu, Nak?"
Ia kembali menggelengkan kepalanya dan aku semakin putus asa, harapanku dengan mengobrol dengannya itu akan mampu mengobati kejenuhan selama menunggu May yang belum juga datang, namun kenyataannya tidak! Aku malah menjadi bingung.
"Saya tidak berani pulang!"
Aku terhenti, iya aku terhenti! Sebab aku sudah akan beranjak untuk meninggalkan anak tersebut, bukan lantaran aku marah, namun karena aku sedang berusaha untuk memberikan kesempatan untuk anak itu, siapa tahu dia memang sedang butuh waktu untuk sendirian.
"Kenapa, Nak?! Bukankah ini sudah hampir malam, dan orangtuamu pasti sedang mencari!"
Aku hanya berusaha untuk menjawab, dan semoga saja anak itu mau pulang ke rumah, agar orangtuanya tidak mencemaskannya.
"Saya tidak berani pulang, Om! Tubuhku hilang di sungai siang tadi!"
Aku lemas. Pandanganku sontak kabur. Selesai berbicara seperti itu, anak tersebut benar-benar menghilang dari pandangan mataku.
Selesai
NB : ini hanya cerita fiktif belaka dan jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat, ini benar-benar tidak disengaja.
11/10 /2018.
Flash Fiction Contoh - Mungkin Dengan Begini Kamu Bahagia
Maybe this way, we are happy.
As usual, tonight they spend the night chatting in the room. Tell stories about what is happening, and they experience life from morning to evening.
"How's Papa's business today?"
Sumiati tried to open the question, Paimin also moved to move position, so that she could face the wife Sumi she loved.
"Fine, Ma. How's the business? Is it alright?"
"Thank God, Pa. Mama's business is also fine. In fact, it shows even better development!"
Paimin hugged Sumiati's slender body which she used to call Sumi. Sumiati looked very comfortable when Paimin's burly hands hugged in his body.
"What about our children? Don't they ask for strange things today?"
"Oh no, Pa. Andre was crying because he asked for pizza, even though my mom was in business, she finally kept quiet. Maybe she was crying."
Sumiati smiles a smile, her face seems to be remembering - remembering the incident this afternoon when Andre cried.
"How about it? Did you pay for the tuition?"
"Already, Pa. It's all done."
They have two children, one girl and one male, Nia is in the second grade of middle school while Andre is in grade 3. They are happy enough to live their lives.
"Ma'am, buy a luxury house at the end of the alley, right? Said the owner of the house, it will only be released at a price of 1m! That's cheap, isn't it? Ma?"
"Em ... yeah. But should we buy a car first, Pa! Nia is in high school, it will definitely need a vehicle to go everywhere later!"
Paimin got up from bed, he took a cup of coffee that had been prepared by Sumiati since.
"Your coffee is always delicious, Sum!"
A few copies of the coffee had entered the stomach, Paimin returned to a position like that.
"Yes, Pa. That's expensive coffee! Mama bought it in Lampung, when there was an event on the streets of socialite mothers!"
"Wow, you really understand my favorite coffee!"
Paimin pinched Sumiati's nose gently, then she immediately brought her face closer to kissing his wife's forehead.
"You're a loyal wife, Sum. I'm proud to have you!"
"Ah Papa! Mama's flattered!"
Sumiati's face looked happy because of Paimin's praise, they really loved each other, even though everything they had gone through together. They have lived for a long time, but they have never quarreled, at least just a small quarrel, like about Andre who is naughty and always defended by Paimin, or about Nia who likes to whine for pizza.
Paimin and Sumiati never quarreled, they and their families were always harmonious, living together under the roof of the overpass. And their children never go to school.
27/09/2018.
Cerita Singkat - Dengan Judul: Kisah Kasih.
Flash Fiction
Cerita Singkat - Dengan Judul: Kisah Kasih.
Tepat jam sembilan malam aku sampai di rumah. Tubuhku terasa penat sekali. Tugas kantor hari ini teramat banyak, mengingat hampir tutup tahun.
Di atas meja sudah ada secangkir kopi, namun sudah dingin. Iya, aku tidak sempat memberi kabar kepada Kasih, karena memang kesibukan yang teramat sangat. Tak lama kemudian mandi menjadi pilihan pertamaku, selain gatal, badan juga terasa gerah.
Kasih sudah duduk di ruang tengah selepas aku mandi, sepertinya ia mendengar suara kecipak air saat aku mengguyur tubuh.
"Pulang jam berapa tadi, Mas?"
Kasih membuka percakapan, matanya terlihat menyelidik.
"Tadi jam sembilan. Maaf, di kantor lagi banyak kerjaan, Sih." ujarku sambil mengenakan kaos tanpa lengan.
"Lembur ya?" tukasnya.
"Iya, biasa mau akhir tahun, laporan mesti dipersiapkan sedini mungkin, biar tidak kelabakan nantinya." jawabku dan mengambil posisi duduk di samping istriku.
"Ada yang ingin kubicarakan, Mas."
"Bicara saja, Sih." kuraih cangkir kopi yang sudah tidak panas itu, mungkin saja bisa sedikit mengobati rasa kantuk ini.
"Mau dipanaskan kopinya?"
"Tidak usah," tukasku lalu meneguk setengah isi cangkir.
Kasih menatapku, sepertinya ada rasa ragu ketika mau mengatakan sesuatu. Mungkin saja ia melihat lelah pada diriku, hingga ada rasa tidak enak? Entahlah.
"Mas."
"Iya."
Aku menatap wajah perempuan berkulit sawo matang, bermata indah, berambut ikal sebahu itu. Perempuan yang mampu membuatku mati-matian mengejarnya, perempuan dengan predikat cantik pada masanya. Ah, sekarang pun kamu masih tetap cantik.
"Iya, Sih. Katakan saja." kuraih tangan Kasih, untuk menguatkan niatnya mengutarakan apa yang akan ia utarakan.
"Amelia harus masuk TK tahun ini."
Deg. Dada ini bergemuruh, namun aku mencoba untuk tetap tenang di hadapan perempuan yang teramat kucintai.
"Tadi waktu kuajak anak kita jalan-jalan, ia merengek minta sekolah, gara-gara melihat Anik memakai seragam."
Aku terdiam. Kasih menunduk, entah apa yang ada di pikirannya.
"Tahun kemarin kamu melarangku memasukannya ke PAUD, aku terima, Mas. Namun kali ini anak kita harus sekolah!"
Tatap mata Kasih seperti mengulitiku, tak ada yang bisa terucap dari mulut ini, selain menghela napas berulang kali. Kopi dingin itu pun telah habis kutenggak, untuk sekadar memberi efek segar pada otak.
"Mas!"
Suara Kasih meninggi, kini aku yang tertunduk lemah. Rasa kantuk dan penat sontak hilang, berganti rasa yang lebih miris.
"Iya."
Kuberanikan diri menatap Kasih, seperti tahun kemarin, aku sudah siap dengan apa yang akan terjadi.
"Kasih, apa kamu masih belum bisa menerima, jika anak kita sudah tiada?"
NB : ini hanya cerita fiktif belaka dan jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat, ini benar-benar tidak disengaja.
22/09/2018.
Flash Fiction Contoh - Dengan Judul: Kepulangan.
Flash Fiction Contoh - Dengan Judul: Kepulangan.
Maunya sih aku menghibur kesedihan Ibu dengan bernyanyi, agar ada senyum tersungging di bibirnya, bibir yang sudah tidak pernah lagi mengenakan pewarna, hingga tampak pucat saat kami kelelahan karena harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk menuju rumah dari tempat kami menggelar dagangan.
Ibu selalu mengajak aku untuk turut ke pasar, sebab memang tidak ada yang menjagaku jika Ibu pergi menjual daun singkong, Ayah sudah lama pergi meninggalkan kami karena sakit keras dan tidak mampu untuk pergi berobat ke rumah sakit. Untung saja ada pekarangan di belakang rumah, jadi kami bisa menanam singkong dan tumbuhan lainnya yang bisa dijual untuk kelangsungan hidup kami.
"Malam ini kita makan lauk daun singkong lagi ya, Nak? Kamu tidak apa-apa kan?"
Aku menggeleng tanda tidak ada masalah, sebab walaupun sebenarnya bosan namun dengan tidak merengek minta yang macam - macam setidaknya aku bisa membuat Ibu tersenyum.
"Ibu sebenarnya ingin membelikan kamu ikan, atau telor, Nak. Namun dagangan kita tidak habis, malah ini masih banyak, daun singkong pun sudah pada layu."
Aku sedih, kutatap wajah Ibu yang nampak sekali oleh gurat - gurat kepedihan, wajah yang terlihat tulus melakukan apa saja untuk aku.
"Sudahlah, Nak. Jangan tatap Ibu seperti itu."
Ibu mengelus rambutku, rambut yang jarang terkena sisir, karena kami selalu berangkat di pagi buta dan pulang pun tergantung barang yang kami jual, jadi kami jarang sekali memerhatikan penampilan, yang terpenting mandi lalu bergegas untuk mengais rezeki.
Aku sebenarnya tidak tega melihat Ibu terus - terusan menderita, makanya aku tidak pernah menuntut Ibu untuk mencari sekolahan untukku, aku tak ingin Ibu semakin berat menjalani hidup yang memang sudah teramat berat ini.
"Nak, kelak kau harus sekolah. Ibu tidak mau kau terus - terusan seperti ini, kamu harus pintar agar kelak bisa mudah mencari pekerjaan."
Langkah Ibu terhenti, ia jongkok dan memegang pundakku. Aku menunduk dan menggeleng, itu tandanya aku tidak mau, tidak setuju dengan usulan Ibu.
"Kelak Ibu harus pergi meninggalkan kamu, Nak. Sebab takdir tidak ada yang tahu, Ibu ingin kau bisa mandiri nanti, jika Ibu meninggal."
Ibu menangis, ia memeluk erat tubuhku, aku tak kuasa menahan semua ini. Dadaku begitu bergemuruh, aku ingin berteriak mengeluarkan kepedihan yang sudah menumpuk di dadaku.
"Semoga Tuhan tetap memberikan Ibu kesehatan, agar bisa menjaga dan merawatmu sampai kau dewasa."
Usiaku sudah sebelas tahun, namun aku tetap tidak ingin sekolah, sebab kepedihan hidup kami pun tidak tahu kapan berakhirnya, jadi lebih baik aku seperti ini, tetap bersama Ibu, tetap berada di dekat perempuan yang sudah begitu menyayangi aku, hingga kelak aku yang akan gantian mencari uang untuk kehidupan kami sehari-hari, aku ingin Ibu kelak hanya akan berada di rumah untuk menunggu aku pulang, dengan membawa apa - apa yang mampu membuat perempuan yang kucintai itu bahagia dan bangga memiliki anak seperti aku, walau aku tidak bisa bicara.
18/09/2018.
Flash Fiction Contoh - Kopi Di Atas Meja Kayu.
Flash Fiction Contoh - Kopi Di Atas Meja Kayu.
Setelah berlelah-lelah kesana kemari akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke rumah, lalu menunggu istriku membuatkan secangkir kopi hitam, kopi bikinan dia sungguh nikmat, takaran gula dan kopinya itu pas!
Aroma kopi memang selalu membuatku senang, walau belum diminum, hmm ... apalagi kalau pas diaduk itu kopi Lampung yang biasa aku pesan lewat teman, wah ... menghadirkan keinginan untuk cepat menyesapnya!
Kopi sudah berada tepat di depanku, di sebuah meja kayu yang sengaja aku taruh di pojok ruangan, entah kenapa tempat itu begitu asik saja untuk sekadar bersantai, padahal di tengah ada satu set sofa empuk, namun aku lebih suka di tempat itu.
Istri duduk di sofa sambil sesekali memindahkan chanel televisi, itu memang sudah menjadi kebiasaan dia kalau sudah berada di depan pesawat televisi, aku saja suka pusing kalau nonton bareng sama dia.
Tapi aku suka dan cinta sekali sama istriku, dia itu tipe orang yang setia, mengabdikan dirinya kepadaku dengan sungguh - sungguh, aku beruntung sekali mempunyai istri seperti dia. Rasa syukurku kepada Tuhan tak pernah lelah kupanjatkan.
Aku dulu sempat tidak mengira jika dia begitu sayang dan setianya kepadaku, namun aku sekarang benar - benar yakin jika kesetiaannya tak diragukan lagi, hingga secangkir kopi pun selalu ada di setiap pagi, walau aku sudah berpulang meninggalkan dunia yang fana ini, pergi meninggalkan istri tercintaku.
"Menikahlah, jika kau ingin menikah lagi, Sum."
~Selesai~
NB : ini hanya cerita fiktif belaka, dan jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat, ini benar-benar tidak disengaja.
17/09/18
Cerita Singkat - Perempuan Di Dalam Cermin.
Cerita Singkat - Perempuan Di Dalam Cermin.
Sudah seminggu keluarga kami pindah ke rumah itu, sebuah rumah yang tidak begitu mewah namun cukup menyenangkan, sebab bangunannya masih terlihat kokoh meski sudah tua, dan pemandangan di sekitar pun tampak asri, jauh dari keramaian kota seperti rumah kami sebelumnya.
Kami hanya tinggal bertiga, Ayah, Ibu dan aku, kebetulan kedua kakakku sudah berumah tangga, jadi mereka pun sudah pada memiliki rumah sendiri, tinggal aku yang masih sendiri, menemani kedua orangtuaku yang sudah lanjut usia.
Kami memutuskan pindah ke kota yang jauh dari keramaian karena Ayah dan Ibu sudah tidak bekerja lagi, mereka ingin menghabiskan masa tuanya dengan suasana yang tenang, menikmati masa - masa pensiun tanpa hiruk pikuk seperti di kota sebelumnya kami tinggal.
"Ayah, aku menemukan cermin di gudang belakang, bentuknya kuno, aku suka sekali! Biar kupasang di kamar ya?"
Cermin kuno dengan bingkai bermotif ukiran tersebut terlihat bagus sekali, dengan kubersihkan memakai air dan sedikit sabun saja cermin itu sudah tampak bagus.
"Nah, kamu di sini saja ya!"
Aku pun memasangnya di depan ranjang tidurku, biar praktis kalau mau bercermin, tidak terlalu jauh saja.
Malam pun tiba, kami bertiga menikmati masakan yang sudah di siapkan oleh Mbok Inem, perempuan yang sudah ikut keluarga kami semenjak aku masih kecil, perempuan itu sangat setia sekali terhadap keluarga kami, hingga waktu kedua orangtuaku pensiun dan menyuruh Mbok Inem untuk berhenti barangkali ingin pensiun juga agar bisa lebih dekat dengan anak-anaknya di kampung pun beliau tidak mau, Si Mbok lebih memilih tetap ikut dengan kami.
Malam telah larut, tubuhku penat sekali, seharian ini memang banyak kerjaan yang harus diselesaikan, yaitu beres - beres rumah, tak ayal jika malam ini tidurku lelap sekali.
Pukul satu pagi aku terbangun, entah kenapa kamarku seperti gaduh oleh suara - suara yang tidak jelas, seperti ada suara teriakan, kadang tangisan.
Aku begidik! Lampu kamar pun segera kunyalakan, namun suara - suara itu tiba-tiba saja hilang bersama lampu yang menyala. Kusapu sekeliling, semua wajar saja tidak ada yang aneh, aku hanya berpikir jika apa yang aku rasakan hanya halusinasi saja, tak beberapa lama kemudian aku keluar untuk menuju ke dapur, aku merasa haus sekali.
Sekembalinya dari dapur aku terperanjat, lampu di kamarku mati, aku ingat betul jika aku tidak mematikannya, lalu coba kunyalakan kembali, lampu itu tidak mau menyala, padahal semua lampu di rumah ini sudah diganti dengan yg baru, jadi tidak mungkin kalau lampunya konslet.
"Hei...! Siapa kamu?"
Dalam suasana yang remang - remang aku melihat ada seseorang yang berada di depan cermin, ia berdiri menghadap cermin.
Aku coba menyalakan kembali lampu tersebut namun sama, tidak mau menyala!
"Hei... apa itu, Ibu?"
Penasaran, aku segera mengambil ponsel dan menyalakan senter yang ada di ponselku.
"Kamu siapa?"
Perempuan itu menyeramkan sekali, wajahnya seperti sungguh membuatku ketakutan, aku pun coba berteriak sekuatnya, namun tidak bisa.
"Kembalikan cermin ini ke tempat semula!"
Suara perempuan itu sungguh menakutkan sekali, lututku mulai lemas, aku pun terjatuh.
Sebelum pingsan aku sempat melihat perempuan itu masuk ke dalam cermin tersebut.
Selesai
NB: ini hanya cerita fiktif belaka, jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat, ini benar-benar tidak disengaja.
16/09/2018.
Cerpen Singkat - Boneka Badut Pemberian Ayah.
Cerpen Singkat - Boneka Badut Pemberian Ayah.
Adi senang sekali, sepulang dari luar kota Ayah membelikan boneka badut. Boneka itu sangat mirip sekali seperti manusia, pasti harganya mahal.
"Ayah, sebenarnya Adi ingin robot-robotan, tapi melihat boneka badut ini, saya suka sekali!"
Raut bahagia wajah anak itu nyata terlukis, berulangkali ia memeluk boneka baru tersebut.
"Kamu kan tidak punya teman di rumah, makanya Ayah membelikan boneka badut itu."
Malam pun tiba, keluarga Adi sudah berada di meja makan. Hidangan kali ini cukup istimewa, mungkin karena Ayah baru pulang dari tugasnya di luar kota, setelah beberapa minggu lamanya.
"Makan yang banyak ya, Nak."
Mama Adi memang terkenal lembut, iya tidak pernah membentak atau memarahi anak semata wayangnya. Namun Adi tidak manja, walau kedua orangtuanya begitu menyayanginya.
"Ayah, malam ini Adi mau tidur bersama Teddy!" ujarnya senang.
"Teddy? Siapa dia, Nak?"
"Itu, boneka badut yang Ayah berikan tadi pagi."
"Sudah, Nak. Makanlah dulu."
Mereka pun asik menyantap makan malam, keluarga itu memang terlihat bahagia. Tidak pernah sekali pun terdengar ada keributan dalam rumah tangganya.
* * * *
Pukul sebelas malam Adi terbangun, ia seperti mendengar isak tangis di kamarnya. Lampu pun segera dinyalakan, ia berharap bisa mengetahui dari mana arah tangis itu datang.
"Hei, itu kan Teddy?"
Adi terperanjat, Teddy berada di kursi yang berada di meja belajarnya. Adi yakin betul jika semalam ia membawa boneka itu di atas kasurnya.
"Teddy! Ini tidak mungkin!"
Adi segera lari keluar kamar dan menjerit histeris. Tidak lama kemudian kedua orangtuanya pun keluar.
"Ada apa, Nak?"
"Teddy, Ma! Teddy bisa menangis!"
Dengan tergagap Adi menjelaskan apa yang baru saja ia saksikan kepada kedua orangtuanya. Mereka pun segera masuk ke kamar anaknya untuk memastikan.
"Itu Teddy di atas kasurmu, Nak. Tidak ada apa-apa kok."
"Tidak! Tadi Teddy duduk di kursi itu, Ayah!"
Adi coba meyakinkan kepada kedua orangtuanya bahwa apa yang dilihatnya tadi benar-benar terjadi.
"Sudahlah, Nak. Mungkin kamu terlalu sering nonton film hantu, jadi terbawa suasana."
Mama coba menenangkan anaknya, sambil mengusap rambut ikalnya. Adi terdiam, ia tidak bisa meyakinkan kedua orangtuanya, jika yang tadi dilihat adalah benar-benar adanya.
Adi kembali sendiri di dalam kamar, boneka badut itu tergeletak di atas kasurnya dengan posisi badan memunggunginya. Adi terus menatap Teddy, matanya hampir tidak berkedip, ia masih yakin sekali jika tadi itu benar terjadi, bukan hayalan ataupun halusinasi semata.
"Tolong Ayah, Nak!"
Adi terbelalak, boneka itu berbalik dan mengeluarkan suara. Keringat dingin pun mengucur dengan deras, ia tak mampu bergerak lagi.
"Ini Ayah, Nak."
Suara itu persis sekali dengan suara Ayahnya, Adi bergeming. Ia ingin sekali berteriak tapi tak bisa.
"Ayah terkena kutukan. Bunuh Ayah yang ada di kamar bersama Mamamu, maka Ayah akan lepas dari kutukan ini."
Setelah ucapan tersebut, tiba-tiba Adi bisa bergerak. Ia kembali lari keluar kamar.
Di ruang tengah Adi berpikir seribu kali, apa benar yang diucapkan Teddy boneka badut itu.
Adi lari masuk ke kamar orangtuanya, tanpa berpikir panjang ia langsung berusaha mencekik Ayahnya. Ayah terkejut, lalu segera menepis tangan anaknya.
"Apa yang kamu lakukan, Nak?"
Tanya Ayah seraya memegang tubuh Adi yang terus memberontak hebat, Mama menjerit histeris.
* * *
Adi terbangun dengan napas terengah-engah, keringatnya membasahi sekujur tubuhnya.
"Syukurlah, saya cuma bermimpi." ujarnya Adi sambil mengusap dadanya.
Tak beberapa lama kemudian.
"Adi, aku Ayahmu, Nak!"
Suara Teddy si boneka badut itu benar-benar nyata di sebelahnya.
Tamat
NB: ini adalah cerita Fiksi belaka, jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat, ini benar-benar tidak disengaja.
14/09/2018.
Flash Fiction Contoh -Mungkin Kamu Yang Salah!
Flash Fiction Contoh -Mungkin Kamu Yang Salah!
"Hei...! Di sini rimbun sekali kakak! Kemarilah...!"
Dia begitu bersemangat, entah apa yang ada di dalam pikirannya, sehingga ia memutuskan untuk pergi ke tempat tersebut.
"Turunlah, Nak! Kita akan ke tempat yang lebih baik. Bukan di situ!"
Rombongan pun berhenti, mereka mengamati salah satu temannya yang sedang asik bergelantungan.
"Kau piki aku sedang bergelantungan ya? Aku dalam bahaya...!"
Rombongan itu panik, ternyata apa yang mereka pikirkan salah.
"Lalu apa yang harus kami lakukan?!"
Tampak kepanikan di raut salah satu anggota rombongan yang sedang sibuk dengan takdirnya, sangat nyata ketakutan itu terpancar.
"Bagaimana pun caranya, aku tak peduli! Cepat tolong aku!"
Ada beberapa anggota rombongan yang mencoba naik hendak menolong, sebagian lagi sibuk memikirkan cara yang baik untuk menolong temannya tersebut.
Terlambat.
"Jangan kucek matamu!"
Teriakan terakhir itu terdengar sangat miris, seluruh anggota rombongan menatap sedih.
"Satu lagi kawan kita mati...," ujar salah satu anggota rombongan yang ada di bawah.
Rombongan semut itu pun segera pergi meninggalkan salah satu temannya yang telah mati. Itu murni kesalahan temannya, mereka sudah melarang keras agar ia tak bermain di antara rimbun alis dan bulu mata manusia, namun ia tetap kekeh.
"Jika ada remahan roti yang lebih nikmat, kenapa harus mencari sesuatu pada tubuh manusia, dasar bodoh!"
Mereka semakin jauh meninggalkan bangkai temannya, yang masih menempel di antara jari-jari manusia yang telah mengakibatkan kematiannya.
selesai
NB: Ini hanya cerita fiktif belaka, jika ada kesamaan nama dan tokoh, ini benar-benar tidak disengaja.
12/09/2018
Flash Fiction Contoh - Di Antara Bakung.
Flash Fiction Contoh - Di Antara Bakung.
Di antara bunga bakung dia meletakkan tatapan kosongnya, kecipak air yang dimainkan puluhan ikan tawar itu tetap tak membuatnya bergeming.
Senja sudah lengser, malam mulai turun dari timangan, berjalan perlahan untuk bermain bersama gemintang menghabiskan waktu, meskipun bulan sepertinya alfa hadir malam ini.
"Pulanglah. Hari hampir gelap."
Dia masih terdiam, mungkin saja tak mendengar ucapan dari arah belakangnya, atau memang sedang tidak berhasrat untuk diajak bicara.
"Apa kau mau melewatkan malam di tepi danau ini?"
Ia berusaha membujuknya, namun sia-sia saja. Yang diajak bicara benar-benar tidak mau peduli.
"Biarkan aku di sini."
"Sampai kapan?"
"Entahlah...!"
Meski berbicara, namun wajahnya tak berpaling, pandangan itu masih sama, kosong di antara bunga bakung yang tampak subur tumbuh di danau tersebut.
"Apa kau tidak rindu dengan rumah, saudara dan keluargamu?"
Angin senja sudah berlalu, meninggalkan keheningan kepada sepasang gelisah, di tepi danau sunyi, tanpa temaram cahaya pun.
Kecipak ikan begitu riuh, mungkin saja mereka menemukan mangsanya. Mangsa yang memang sudah dipersiapkan alam, sebagai bentuk eko sistem yang begitu luar biasanya, sehingga bumi ini bisa berjalan dengan baik, Maha Besarnya Allah...
"Sekarang hari sudah gelap, apa kau masih tetap mau di sini?"
Hening itu pecah lagi, meski hanya sesekali saja mereka berbicara, namun hening tetaplah hening, sebab tak ada lagi siapa - siapa, selain mereka.
"Kau mau mengantarkan aku pulang?"
"Yakin kau mau pulang?"
Ada sedikit keraguan yang hinggap saat ia mendengar jawaban tersebut, namun bukankah ini yang sedari tadi diinginkannya, agar dia pulang, dan meninggalkan danau.
"Iya, aku akan pulang saja."
"Jika benar begitu, ayo aku antar kau pulang!"
Kumbang jantan itu mempersilakan dia duduk di punggungnya, meskipun ia tidak begitu yakin akan mampu membawanya terbang, sebab sayapnya juga patah satu.
"Kita punya dua sayap jika terbang bersama!"
Mereka pun pergi meninggalkan danau tersebut, danau tempat mereka sama-sama kehilangan sayap, karena tersambar ikan - ikan yang ada di danau tersebut, saat mereka tengah asik bermain di antara bunga bakung.
selesai
NB: Ini hanya kisah fiktif semata, jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat, ini benar-benar tidak disengaja.
12/09/2018.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Tamu Prosa Blog Dbanik
Judul : Masih Sanggupkah Kau Bertahan? Karya : Dian Ahmad Tatap mata yang kian meredup, menampakan duka yang sepertinya menoreh telalu dala...
-
Resep Tahini Brownies Halo sobat blogger semua, kita jumpa lagi di kesempatan ini ya, dan kali ini saya akan memberikan resep tahini ...
-
Resep Membuat Glotak Makanan Khas Tegal Kali ini saya akan membagi resep glotak, makanan khas Tegal yang tentunya sangat lezat dan ni...
-
Kumpulan Flash Fiction Contoh. Di Ruang Tunggu. Aku terdiam meskipun duduk bersebelahan dengan Ayah. Bukan karena aku tak sayang,...