Senja mulai terlihat di langit, kawanan burung mengepakan sayap untuk pulang ke koloninya masing - masing. Lalu lalang orang - orang yang akan pulang maupun pergi masih begitu jelas terlihat menambah daftar cerita hari ini.
Hari yang terlukis begitu tenang, meskipun tidak dengan hati seorang anak berusia belasan tahun tersebut. Seorang bocah yang terus menatap ke langit, dan matanya tampak begitu kosong. Apakah ada yang mengganggu pikirannya?
Entahlah, seraut wajah polos tanpa ekspresi itu sudah berjam - jam duduk tanpa seorang pun teman, sendiri menikmati kesepian yang mungkin saja ia ciptakan sendiri, mencari hening di antara riuhnya penghuni semesta, atau bisa saja ia tengah jengah menghadapi apa yang tengah ia hadapi. Bukankah masalah itu bisa datang kepada siapa pun juga, termasuk anak berusia belasan tahun tersebut.
Kenapa aku begitu memerhatikan anak itu, yang jelas - jelas tidak kukenal. Mungkin juga ini sebuah pengalihan perasaanku saja, yang mulai jenuh menunggu kepulangan May kekasihku. May biasa turun di halte ini, dan seperti biasa aku jemput ia pada sabtu sore.
Halte tempat menunggu May kekasihku tersebut memang sangat bagus, sebab tidak jauh dari tempat itu ada taman kecil dengan dua bangku taman, mungkin saja taman itu memang dibuat pihak pengelola lingkungan kota ini untuk melepas kepenatan orang - orang yang sedang lama menunggu. Ah, mungkin saja begitu! Dan aku pun sudah berada di dekat anak kecil tersebut, entah kenapa aku iba melihatnya.
"Sedang apa, Nak?"
Sebuah pertanyaan standar untuk membuka sebuah percakapan sudah kulontarkan. Anak itu menoleh dan menatapku. Namun tidak beberapa lama kemudian ia menggelengkan kepalanya.
"Kamu sedang mencari menunggu seseorang? Atau mungkin orangtuamu, Nak?"
Dua pertanyaanku sudah keluar dari mulut dan ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun untuk menjawab. Aku tidak kesal seperti biasanya, sebab wajah anak itu begitu menyiratkan kepedihan, aku jadi iba melihatnya.
"Kamu dimarahi orangtuamu, Nak?"
Ia kembali menggelengkan kepalanya dan aku semakin putus asa, harapanku dengan mengobrol dengannya itu akan mampu mengobati kejenuhan selama menunggu May yang belum juga datang, namun kenyataannya tidak! Aku malah menjadi bingung.
"Saya tidak berani pulang!"
Aku terhenti, iya aku terhenti! Sebab aku sudah akan beranjak untuk meninggalkan anak tersebut, bukan lantaran aku marah, namun karena aku sedang berusaha untuk memberikan kesempatan untuk anak itu, siapa tahu dia memang sedang butuh waktu untuk sendirian.
"Kenapa, Nak?! Bukankah ini sudah hampir malam, dan orangtuamu pasti sedang mencari!"
Aku hanya berusaha untuk menjawab, dan semoga saja anak itu mau pulang ke rumah, agar orangtuanya tidak mencemaskannya.
"Saya tidak berani pulang, Om! Tubuhku hilang di sungai siang tadi!"
Aku lemas. Pandanganku sontak kabur. Selesai berbicara seperti itu, anak tersebut benar-benar menghilang dari pandangan mataku.
Selesai
NB : ini hanya cerita fiktif belaka dan jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat, ini benar-benar tidak disengaja.
11/10 /2018.
No comments:
Post a Comment