November 2019

iklan

Tamu Prosa Blog Dbanik






Judul : Masih Sanggupkah Kau Bertahan?
Karya : Dian Ahmad 

Tatap mata yang kian meredup, menampakan duka yang sepertinya menoreh telalu dalam, terlalu pilu untuk bisa dihapus hanya dengan air mata. Berulang kuusap pelan bulir bening dari ujung matanya, yang seakan tak ada habis-habisnya. Sebegitu perihkah lara didalam dirimu, Puan?

Kurapikan helai rambut dari wajahmu yang semakin layu. Kusut rambut yang dibiarkan tergerai begitu saja. Hilang kemilau yang pernah kulihat di hari sebelumnya, dan hanya menyisakan lekuk derita dari tiap helai yang tak lagi beraturan. Inginku menggenggam tanganmu, tapi rasanya akupun tak berdaya untuk sekadar menggenggam rindu yang tengah berulah.

Aku tawarkan satu cerita tentang aku dan kerinduan, apakah kau mau mendengarnya?

Kau berbalik menatapku, tersenyum dan mengangguk pasti!
Kusodorkan sebuah kisah dengan lembar pertama, berwarna hitam pekat, dengan taburan bintang yang gemerlap menghiasi tiap sudutnya. Seketika, matanya berbinar--seperti binar mataku saat pertama kali menyaksikan panggung , malam, yang bertaburkan bintang , malam itu, bersamanya-- , perlahan senyum mengembang, seiring dengan rangkai cerita yang aku tuturkan.

Puan, nikmati setiap lembar dari cerita rindu yang aku punya, karena kisah ini, adalah juga kisahmu. Dan semoga di akhir cerita bisa kau dapati kisah yang indah, karena aku belum sampai di sana. mungkin nanti, di waktu yang entah!

.
Batam, 30 September 2019



Judul : Hakikat Rindu
Karya : R Danians 


Awalnya aku mengira, bahwa rindu hanyalah perihal waktu yang memberi jeda pada sebuah rasa. Tetapi aku salah, nyatanya... rindu adalah kesunyian yang bahkan tak mampu memberi spasi pada hati, untuk sekadar kupahami tentang arti sepi. Kekosongan begitu hampa, meremas-remas dada.

Ini bukan tentang kehilangan, seperti ratap Habibie kepada Ainun, ketika dua raga dipisahkan oleh ruang dan masa. Lebih dari itu. Sebab kita masih sama-sama di sini, melewati hari-hari dengan cara yang berbeda. Kau tahu? Tak ada yang lebih luka dari pahitnya penantian karena rindu yang sia-sia.

Aku masih menduga, jika ini adalah perkara ketabahan yang semestinya kutangguhkan, serupa tabahnya daun-daun gugur yang rela jatuh ditempa kekeringan. Hhhh..., nyatanya masih jua belum kumengerti, tentang isyarat angin tatkala membisikkan kecemasan dari kemarau yang teramat panjang.

Barangkali, inilah sesungguhnya rindu, membiarkan sepi mencabik-cabik dada sendiri. Dada yang denganmu ingin kubagi untuk sekadar mencicipi legitnya cinta, pun asinnya air mata. Tak pada siapapun, selain kepada namamu yang telah lama menjantungkan diri sebagai kekasih sejati.

Tasikmalaya, 13.09.19



Benih Cinta
Oleh: The Istorini
----------------------------

Cerita hari dahulu, padanya pernah tersemat impian syahdu.
Tentang dua benih cinta berupaya tumbuh di ladang harapan.

Semusim berhasil mekar bunga asmara aneka warna. Wanginya melenakan.
Mengajak terbang ribuan kupu-kupu di rongga dada. Tak sabar berebut mencicip nektar bahagia. Getar sayapnya menari menggelitik, menciptakan debaran eksotik.

Hingga segar berganti layu. Bukan lalai menuang pupuk kasih sayang, air merta jiwa pun telah tercurah menyiram.

Hanya enggan nyaman tumbuh terlalu lama; pada sepetak damba.

Satu benih mencabut paksa serat akar. Memangkas habis tangkai-tangkai janji manis. Mengeringkan aliran keinginan. Meninggalkan lubang tilas pernah bersemayam.

Tersisa benih cinta berbalut luka. Lunglai, merunduk sendiri, menanti satu tunas baru menghampiri. Sedia setia menemani tumbuh bersama. Saling menopang untuk tegak berdiri.

---
Surabaya_20190928



Judul : Lembaran Kenang
Karya : Rose Ega 

Aroma itu merayap dan menari lembut di udara. Semua indra terbangun lalu berkolaborasi, membuka peti berukir harapan. Menarik keluar lembaran indah cantik kenang. 

 Perlahan ingatan mengurai lipatan, garis-garisnya tertera jelas. Kiranya terlalu kuat ditekan paksa masuk kotak. 
Ahh ... garis-garis tak kurangi indahnya lembaran. Jemari takdir telah menenun dengan cermat benang-benang kisah. Serat-seratnya rapat, warnanya lembut serasi.

Duhai cermin, izinkan mematut diri. Biarkan ia membingkai ikal rambut, mendekap gemetar bahu meski sejenak. Untuk kembali melipat lalu menyimpannya lagi ke dalam laci. Air mata membuatnya sedikit lembab. 

Tak ada yang salah dengan kenangan. Tak apa sesekali menjumpainya, bahkan bisa jadi selalu bersama. Ia adalah guru sejati kehidupan. Menterjemah tanpa salah perihal sunyi, rindu dan ketakberdayaan.

#lif_cp, 55019



Judul : Potret Indonesiaku Saat Ini
Karya : Tsurayya Tanjung 

Ada anak kecil, tertatih melangkah, beberapa kali ia mengusap perut, dari kausnya yang lusuh. Sibuk menjajakan suara rombeng, tak sedap pun didengar. Tetapi dia tetap berjalan, menelusuri penatnya kemacetan. Sesekali tampak menyeka peluh nan mengucur hebat, akibat perut kosong nan melolong.

Di sudut lain negri ini, seorang ibu mengeluhkan tak mampu membeli beras. Sekadar menggantikan dengan ubi rebus pun senen kemis, miris. Tangisnya kini kecut tersebab terbiasa. Sementara cukong-cukong sibuk memperkaya diri dengan gabah-gabah melambung nan dibeli murah.

Sedangkan di penghujung bumi Indonesia, Bhineka Tunggal Ika terancam. Atas suara anak-anak bangsa nan kadung kecewa. Dibiarkan terlampau lama meranggas asa.

Di Ibu kota, para pemangku takhta, mojok bermain gaplek, perut buncitnya mengeluarkan sendawa kekenyangan. Selepas menggelar rapat-rapat tak jelas.
Sedang di bagian kota sana, para pemuda riuh berarak menyuarakan suara, dalam terik dan hujan, berjibaku dengan rasa penat. Meski diberondong gas air mata, di hajar dengan peluru karet dan pentungan. Tak secuil pun takut dan mundur. Tekad mereka bulat, mencoba mempertahankan kedaulatan nan tersisa.

Lalu di bagian bumi sana, tempat saudaraku bernaung. Flora, fauna, musnah, terbakar amuk amarah sang Aghni. Akibat dia salah dipergunakan, oleh mereka-mereka para kemaruk harta. Hutan menangis, menatap anak bumi lainnya bergelimpangan mati terpanggang kobaran api.

Awan pekat oleh bubungan asap, semakin menjauhkan berkat hujan dari kemarau panjang. Para cukong saling berbantahan, mereka tetap bebas menikmati madu dunia di ranjang empuk dalam kamar ber-AC. Ada sang buruh bayaran yang menjadi tumbal, kejahatan mereka, mereka hanya diperintah.

Semakin tercorenglah kini wajah Indonesia di warta Dunia. Semakin terpuruk rakyat, kembali mereka harus meranggas harapan.

Tsurayya, Bld 270919



Judul : Merawat Sunyi
Karya : Dini Amelia

Biarlah sedikit kuperjelas, jika belum paham mengapa aku sibuk merawat sunyi.
Meski waktu mewajibkan untuk berkorelasi menyembuhkan hati
Bukan perihal meratap, tapi sengaja menyendiri untuk luka tak ingin lagi menetap

Mungkin aku menyebutnya rela, meminang banyak pura pura bahagia
Menjamu tawa dengan suguhan canda
Menerima tawaran masa depan, untuk pergi dan tak ingin menoleh kebelakang lagi
Meski sedikit ada nyeri, mengiringi hampanya hati
Tapi berdiam dalam sunyi, menyeimbangkan rasa sakit dan rela
Untuk selalu bisa berkolaborasi dengan logika

Dibatas nisbi menjelang berputarnya waktu
Biarlah diam menjadi teman sejati
Meredakan beban rindu, dalam sunyi yang abadi
Menjamah ketegaran, agar kokoh dinding keikhlasan
Hanya sujud pinta dalam derai bening tirta netra
Membasuh kesucian hati
Tuk menjaga nya dari semua formula benci.

Weleri, 250919



Judul : Cinta Dalam Diam
Oleh : Cici

Kamu, sebuah nama yang kulangitkan dalam untaian selaksa doa di penghujung malam. Kubisikan namamu pada Sang Maha Cinta. Tak perlu kau tahu, cukup kuceritakan semua rasa pada Sang Penjaga Sukma.

Kulukis namamu dalam kanvas hati dengan tinta rindu di penghujung senja, menjadi bait-bait sajak cinta yang kudengungkan bersama sunyi. Kau tahu? Bagiku tak mengapa, tak bertegur sapa denganmu. Cukuplah menyapa dan mendekapmu dalam bait-bait doa.

Meski anak-anak rindu riuh mengganggu, tetap saja ku tak bisa menyentuhmu. Senyummu adalah candu yang selalu mampu membius sukma dan kau serupa senja yang membuatku selalu tergugu.

Wahai Tuan, sang pencuri hati. Kumencintaimu meski kusembunyikan dalam palung hati paling dalam. Diam bukan berarti tak mampu, tapi ku hanya menjaga perasaanku dan perasaanmu. Jika dirimu tercatat bukan untukku, sungguh aku yakin Allah akan menghapus rasa ini dalam diamku. Begitulah kuasaNya, Dzat yang membolak-balikkan hati hambanya.

25 September 2019



Judul : Bukan mauku menjadi madu
Karya : Cocom Ssi

Aku tersipu, di belahan langit biru dan deguran ombak yang mendayu. Tak kupungkiri, kini aku terbuai oleh bujuk dan rayu. Caramu yang berbeda untuk mencintaiku. Membuatku semakin lena, kaulah persinggahan terakhirku.

Bukan masalah waktu, warna merah jambu yang menyemburkan dipipiku. Sudah menjadi bukti ketulusan, saat kuterima persuntinganmu. Kau ikrarkan janji suci didepan penghulu. Membuatku terlepas dari ikatan rasa yang membelenggu. Kini terpatri sudah jiwaku. Saksi bisu buaian sang bayu, jadikan diri ini patuh dan berbakti padamu. Duhai suamiku. 

Tapi siapa? ... siapa sosok syar'i di kamarmu. Wanita berparas ayu yang tak pernah kau ceritakan padaku. Ngilu. Saat kau ucapakan, dialah istri pertamamu. Perempuan yang terbaring lemah dari setahun yang lalu. Remuk. Hati ini hancur menjadi partikel pilu bak tertusuk runcingnya paku-paku.

Rupanya aku tertipu, oleh kata-kata dan wajah arifmu. Sekalipun aku terlanjur sayang dan mencintaimu. Hati ini tak pernah membatu bersama egoku. Dia wanita ... sama sepertiku, dan aku tau rasa itu. Meski harus terpasung dan mengabu dalam api cemburu. Aku tetap tak mampu.

 Biarkan ku mundur. Berlalu dengan linangan air mata yang saling memburu. Karna bukan Mauku menjadi madu. Rasa ini akan membias, menjadi pendar-pendar cahaya yang menyemu. Entah sampai kapan, hingga aku menemukan penggantimu.

25-09-2019



Judul : Dingin yang Kesepian
Karya : Erlina



Ini dingin malam yang merindukan hujan. Basah dan kering berkelindan, menjelma aroma baru yang tidak terkomposisi. Lebih gigil dari jatuh cinta, lebih debar dari pertemuan, tapi lebih jahanam dari ciuman.

Pada tarian-tarian bayangan, dingin yang mulai kehilangan arah itu bergeming. Diam-diam menertawakan nasibnya sendiri. Hadirnya serupa gula dalam gelas-gelas kopi para penyamun. Ada dan tidak pernah dianggap. Akankah embusnya berujung bahagia? Atau nestapa berkepanjangan?

Lelah ... dia sungguh lelah. Menjadi satu-satunya alasan sumpah serapah di balik bilik-bilik bambu keropos. Dia mulai bosan berputar-putar, mengganggu setiap napas yang berusaha menghalau kehadirannya bahkan sebelum mendekat.

Padahal, dia hanya ingin berbagi cerita. Padahal dia hanya ingin dimengerti, betapa dirinya setengah mati menahan perasaannya sendiri. Betapa sang kekasih tidak pernah malu-malu menjadikannya beku.

Namun, bahkan langit begitu enggan membuatnya merasa diterima. Alih-alih mendapat dukungan, dia justru nyaris tenggelam dalam kebencian yang tidak pernah dipahaminya.
Dia tidak mengerti ... tidak akan pernah mengerti, dari sisi bagian mana keadaan ini bisa menjadi kesalahannya.

Alam seolah-olah mengutuk, menjadikan dirinya kesalahan terbesar yang pernah ada. Lalu pada akhirnya, dia memutuskan membubung menembus cakrawala. Jauh, semakin jauh dan tidak tersentuh.

Dia meninggalkan malam, meninggalkan ramalan-ramalan konyol pada almanak. Dia menyerah, membungkus dirinya pada atmosfer lalu hilang. Dia menjadi nakhoda yang menenggelamkan kapalnya sendiri.

Tidak ada yang pernah tahu, dia tengah pergi mengorbankan nyawanya sendiri, demi memaksa sang kekasih datang-- hujan yang teramat dirindukan.

"Tuhan! Ajari manusia mencintai kehilangan," bisiknya diam-diam.

Purworejo, 24 September 2019



Judul: Tentang Engkau; 26 Agustus
Oleh: NahDiy M

Kukabarkan pada bumi dan langit; perihal rindu akan hadirmu. Tanpa malu-malu, kubincangkan tentang engkau
bersama orang-orang. Telah begitu lama engkau menghilang. Kemarau semakin erat mencengkeram. Tanah bengkah, pohon jati semakin kuyu karena meranggas, mata air malu-malu beringsut surut, dan matahari semakin garang menyengat. Lalu ... rinduku pun semakin gebu--padamu. Dalam lelap, engkau menghiasi mimpi. Pun saat terjaga, menari begitu lincah di pelupuk mata.

Sungguh, sudah cukup lama engkau tak bertandang. Kutitipkan kangen ini dalam semilir angin, semoga sampai padamu. Juga dalam setiap helai sayap doa, terselip namamu di sana. Berharap agar Sang Penguasa Semesta, mengulurkan kasih-Nya; segera menghadirkan engkau.

Semalam ... kata mereka engkau datang. Namun, sayang aku tak melihatmu. Lelap telah memeluk, membawaku dalam buaian mimpi.

Pagi tadi, kulihat jejakmu masih tersisa.
Samar terlihat di jalanan dan begitu jelas di teritis rumah. Pun aromamu masih terhidu.

Kuusap jejakmu sambil berbisik 'maaf semalam aku tak menyambut kehadiranmu'. Seharusnya, kupeluk engkau sambil melantunkan do'a 'Allahumma Shoyyiban Nafi'an'.

Terima kasih Tuhan ....
Dia telah hadir semalam walau sebentar. Membasuh kemarau rinduku akan hadirnya. Menyisakan sedikit basah, di halaman rumahku.

Yogyakarta, 23 September 2019




Judul :Bisik Kesunyian
Karya : Sapta Jameela

Malam hening ... 

Dalam kehampaan yang rapuh, di sudut ruang berbisik lirih, bersimpuh tak henti mengesali diri. Hingga kuyup membasahi seluruhku. Terisak meratapi; sepi.

Betapa tidak? Aku yang larut akan fatamorgana, sedikit pun tak menyisakan ruang waktu sesaat, untuk kasih-Mu. Seakan lupa, bahwa kilaunya adalah hiasan semata. 

Ampunilah ... 

Sungguh aku tak berdaya. Ketika semu merajai hati. Seperti tak sadar bahwa meringis mengintai; perih. 

Ingin kutepis saja rasa-rasa yang ada. Namun terlambat. Aku terlanjur jatuh untuk mencintai, hingga patah arang melumpuhkan tegarku.

Tak ada yang bisa menduga, juga melarang. Sebab rasa ini adalah rasaku. Bahkan saat perjalanan hijrah, aku tersesat, terseok dan terjatuh di setapak jalan; Savana sunyi.

Wahai Sang Pemilik hayat ... aku bertanya kepada-Mu.

Pantaskah aku menggantungkan asa pada pundak sunyi, yang hatinya rimbun akan kasih semu.

Pantaskah aku sandarkan lelahku pada rongga, yang tak lagi tersisa ruang, untuk aku menjadi rusuknya. 

Pantaskah aku mengadu, segala dukaku pada raga hampa, yang mustahil kusentuh, apalagi memeluknya. 

Pantaskah aku memelas, pada tatapan kosong, bahkan raut wajah lain kerapkali tersirat, di setiap ia menatapku.

Pantaskah ... !?

Wahai Sang Pemilik hayat ... rangkul aku.

Betapa hati trenyuh; pilu. Teguhkanlah hingga ia tak goyah. Andai angan boleh merajut makna, aku hanya ingin mencari arti sejati yang sesungguhnya. 

Aku pasrah ... 

Atas apa yang Engkau tetapkan. Walau hasrat tak mampu melampaui batas ingin. Meskipun takdir menjadikan aku pemeluk sunyi, yang paling sunyi. 

Suatu ketika nanti, pasti akan aku temui arti. Hingga waktu terhenti; kelak.

***

Malaysia 🌹
23-09-2019



Judul : Engkau Saja
Oleh : HehiRa Aza

Sebuah rasa yang membuat kita selalu merindu, mengharap temu, selalu. Yakinlah Kang mas, hari itu, pasti 'kan kita rengkuh. Menyatukan hati dalam ikatan suci, penuh cinta dan kasih.

Kang mas, seutuhnya aku, pasti menjadi milikmu. Sekarang, besok dan sampai nanti, saat raga kita tak mampu saling sentuh.

Kesabaran dan kesetiaan cinta kita, sedang diuji Kang mas. Yakinlah, aral rintangan itu pasti bisa kita buat luluh, tak berdaya untuk sekadar menghalangi biduk kita berlabuh.

Semalam kau telah datang Kang mas. Bukan ilusi atau bayang semu penghias mimpi. Begitu nyata hadirmu. Kau merengkuhku dalam gelora cinta menggebu. Hanya ada kita, menyatu. Tak ada lagi jarak membelenggu. 

Detik waktu biarlah berlalu, tumpahkan segala rasa mengharu biru. Kuserahkan semua milikku, untukmu. Utuh. Aku tresno sliramu, Kang mas. Sungguh.


SBY, 220919





JUDUL : CINTA yang TAK LEKANG
OLEH : ERNA ALFARIZ PUR (RnA) 

Terima kasih, Tuhan. Engkau telah menitipkan aku pada satu hati yang begitu cinta. Rasa yang tak pernah mati, walau dihunjam ribuan belati.

Dia yang selalu hadir dalam setiap hela napas. Pemilik ragaku selain-Nya. Takdir yang sebenar-benarnya. 

Jodoh memang sudah tertulis, kamu, aku akan menjadi kita. Terikat dalam satu cinta, suci tanpa noda. Takkan pernah ada kata penyesalan, kecewa atau maki kebencian. 

Kita saling menerima apa adanya, karena aku begitu berarti bagimu, pun dirinya bagiku. Di setiap bulir air mataku yang jatuh, adalah untaian doa untukmu. 

Ketika mereka berkisah tentang senja. Senjaku adalah kamu, yang selalu datang membawa segenggam harapan, bukan janji yang semu. Kebahagiaan yang pasti. 

Tuhan ... jagakan dia untukku. Dia yang selalu bersemayam di hati, pemilik darah di setiap nadi, nama yang terpatri abadi; Ayah! 

Belitung, 22 September 2019




Judul : Satu Kenangan 
Karya : Elly Yulianthi 

Elegi rindu nan syahdu mengalun di sela-sela rintik hujan. Menepis angan yang hanya dinikmati sendirian. Mencoba menafikkan satu rasa yang pernah membuncah. Merobek tirai keangkuhan. Tanpa alasan. 

Desiran hangat di hati kala itu, ditingkahi deburan ombak di dada yang bermuara resah. Ketika sapa riang, tutur kata bijak bermakna terucap. Seribu lebah berputar-putar di kepala seakan memberi pesan. Tak ada kata yang tepat untuk disampaikan padanya. Apa yang terbaik, hanya memberi senyuman termanis yang mungkin sepadan. 

Bahana selalu teringat, "Apa yang kaulihat, tak selamanya benar dan nyata. Belajarlah menghargai siapa pun, meski dirimu tak suka." 

Namun, seberkas harap itu lindap bersama sinar rembulan tertutup awan mendung di atas sana. Saat mencari jejak di kedua netra, seketika merenda gundah dalam atma. Biarkan semua menjadi misteri tak terselami untuk sekian lama. Kiranya semua hanyalah sangka yang percuma. 

Rasa itu utuh sepenuhnya, hanya diri yang mengerti. Harap itu ada, terus meragu melayang di udara. Terlukis dalam berbait-bait aksara, terukir pada barisan doa, hanya untuk kembali bersua untuk sekadar mengurai tanya.  

Hingga satu masa. Sinarnya perlahan redup, bias tak mengarah. Angin mengembus, membawa kelana hingga ke ujung barat. Terhempas hingga kebas, bersama sang bayu ke utara. Menyisakan kisah kecil yang terkadang membuat hati tergelak. Menertawai lugu laku dan naifnya rasa. Mensyukuri karunia akal pikiran yang tetap menyala, bahkan kian benderang. Secerah asma-Nya yang hadir dalam bentuk kasih yang nyata, lembut sejukkan jiwa. 

Episode hidup manusia, memaksa untuk terus berjalan. Meninggalkan atau ditinggalkan orang-orang untuk kelak 'kan diingat, dalam bingkai terbaik, di satu sudut ruang bernama kenangan. 

Sudahlah ... tetap di situ. Tak perlu beranjak. Tak butuh lagi penjelasan. Agar selalu baik adanya dalam benak, seperti saat itu.  

Kota Hujan, 20.09.2019




Judul : Kabut Asap
Karya : Aini Dahlia

Kumpulan asap putih seakan mengepung raga yang terpaku di bumi. Inci demi inci sudut bumi terbelenggu kabut pekat kekuningan. Kabut itu melingkari leher dan memaksa masuk meracuni seluruh rongga pernapasan. 

Ingin rasanya berlari. Namun, kemana? Musim panas seolah bersahabat karib dengan kabut pekat ini. Sulut setitik api saja pada rimbunan dedaunan hijau maka api itu meliuk-liuk memamerkan kekuatannya.

Penghuni asli rimbunan hijau nan lebat menjadi korban. Pasrah meregang nyawa dengan tubuh kehitaman. Sedangkan kami anak cucu Adam mulai kehilangan kekuatan. Riang tawa anak kecil berganti dengan tangis menarik napas dengan berat. Para lanjut usia terbaring lemah di ranjang pesakitan. 

Lalu kami yang masih segar bugar tidak punya pilihan lain. Tetap mencari nafkah untuk mengisi perut agar tetap hidup. Hidup untuk menghirup udara penuh racun. Dihirup sekarat tak dihirup mati. 

Mereka bangsawan dengan jubah Fir'aun tertawa terbahak-bahak menikmati hasil jarahan. Kelak mereka akan mati kehabisan napas ketika kami menghirup udara dengan bebas. 

Kampar, 19 September 2019




Judu : Pupus

Oleh : Maulidhiya

Senja ini napasku tertahan pada biram cakrawala.
Sungguh, jika kau tanyakan pada sang surya, 'kan kau dapati separuh hatiku membeku tak terkira.

Tak mengertikah kau wahai pujangga? 
Secarik janji yang kau pintal pada jiwa rapuh ini dahulu. Kini menghambur melebur bagai anai-anai tambur ke segala penjuru. 

Pupus.

Lengkung di wajah merona tak lagi terbersit. Seiring goresan luka terbarut begitu sakit.

Betapa raga ini rapuh bak ranting terpenggal. Ketika bilah pedang dustamu mencabik asa yang tersengal. 

Menoreh jejak kebencian yang mencuat dari perut ancala rasa. Menutup peti maaf bagi lisanmu yang tak lagi kukuh kupercaya. 

Pergilah kau wira. Bulir air mata tak lagi untukmu. Muara perigi kering terlampau sendu. 

Kota Bercahaya, 18 - 9 - 2019



Judul: Aku dan Kenangan
Karya: Dini N. Rizeki 

Aku memang berjodoh dengan bangku taman dan mendung. Keluar dari Stasiun kota ini, aku berjalan menuju taman kota dipayungi mendung abu-abu. 
Gila memang, menempuh lima jam perjalanan dengan kereta hanya untuk mengenangmu di sini. 

Hmm, hawanya masih sama. Sejuk. Tidak terlalu penuh dengan polusi. Tapi taman kota ini cukup banyak berubah. Sudah banyak kafe-kafe bergaya metropolis di sekelilingnya. Ada beberapa bangku dan meja yang memang disediakan untuk nongkrong berlama-lama.

Kupilih satu bangku di tengah setelah memesan kopi robusta dan kopi susu. Kenapa dua macam? Iya, kopi susu untukku dan kopi robusta untuk(bayangan)mu. Dulu itu adalah menu wajib kita berdua. Sembari menyandarkan kepalamu di bahuku, kau akan mulai menebak parfum apa yang kupakai saat itu. "Kok parfumnya beda?" adalah pertanyaan andalanmu setelah menanyakan kabar. 
Lalu kita akan mulai saling bertukar cerita. Tentang kegiatanku di kantor, tentang aktivitasmu di beberapa komunitas, tentang tanaman-tanaman kesayangan bapakku yang sudah mulai berkembang, juga tentang kontes memasak yang diikuti ibumu. 

Kau tahu aku suka memasak layaknya ibumu, karena itulah katamu kau menyayangiku, mas. "Kamu suka membaca juga suka memasak. Perpaduan yang unik, Dek" ucapmu. Lalu kau mulai menunjukkan beberapa makanan yang terkenal di kotamu ini. Soto di depan pasar, bakso di sudut perempatan, juga sate ayam yang ada di komplek rumahmu. 

Dulu saat kita duduk di taman ini, kau akan mulai mematikan gawai punyamu juga punyaku. Kau tak ingin siapapun mengganggu momen kita berdua. Lalu kau akan mulai memainkan gitarmu dan bernyanyi. Suaramu tidaklah bagus, mas. Hahaha. Tapi aku suka. Dan detik ini, aku rela melakukan apapun bahkan membayar berapapun hanya untuk mendengar suaramu lagi. 

Aku mendatangi kotamu hanya untuk menziarahi kenangan. Kemarin saat memesan tiket, aku kira akan bisa merelakanmu dengan cara seperti ini. Tapi aku salah besar, mas. Lukanya semakin basah. Aku menikmati perihnya. Aku mungkin sudah kecanduan rasa sakitnya sehingga kubiarkan saja luka ini menganga. "Aku rindu kamu, Mas." kudentingkan cangkirku ke cangkirmu sebelum kusesap kopiku. 
Pedih. 


17-09-2019



Tentang Rasa

Karya : Jingga

Aku terjebak dalam ruang ketidakberdayaan. Mencoba meraba dalam bekunya rasa. Mengharap ada setitik peduli di jiwa yang mulai menepi. 

Ingin rasanya kutanyakan tentang hal ini. Namun, mulutku seakan terkunci. Hanya bulir bening saja yang menjadi saksi. 

Aku dan kamu hidup bersama. Akan tetapi, seakan ada sekat yang tercipta. Hingga membuat sebuah tanya. Haruskah aku terus mencintai, sedangkan dirimu kini berbeda. 

Aku ada, tetapi seakan tiada. Bagaikan sebuah hiasan belaka. Tak terjamah dan berbalut debu kecewa. Kau terpenjara dalam duniamu. Membiarkanku terkurung dalam jeruji sepi. 

Bekasi, 17 September 2019




Oleh : Siti Armalah
Judul : Sebuah Rasa

Malam gelap gulita tanpa cahaya, hampa
Pengap mengendap meratap kalap, menerpa
Rasa yang terukir terjungkir namun mangkir
Entah bagaimana akan berakhir

Gundah gulana memupus asa
Merogoh sukma cinta membara
Merenggut makna dalam setiap aksara
Mengambang tanpa ucap kata

Di mana harus kutemukan cinta yang nyata
Tulus tanpa ada dusta
Memadu kasih suci nan abadi
Dalam embusan napas kehidupan penuh arti

Sungguh rasa ini sangat menyiksa
Mengganggu tidur setiap malamku
Menunggu kepastian cinta tanpa syarat makna
Merajut kasih abadi nan suci darimu

Depok, 16 September 2019



Judul : Menjejak Rasa
Karya : Ecca Madika 

Jenuh menuai kata bersajak penuh makna. Beriring rima juga diksi menawan sukma. Masih tersisa impian semalam yang mengguratkan tanya.

Di manakah kini sapa yang dulu memenuhi ruang-ruang dialog?
Bencikah tuan, hingga menyapa pun kini enggan, sudah?

Lalu terbesit alunan vocal menembang sebuah kidung melipur lara. Jangan lagi kau pertanyakan, mengapa dua insan tak lagi beramah-tamah, setelah menjejak rasa dalam ikatan yang telah terberai.

Terguguh menatap fana akan kalimat pengingat. Benarkah semua yang berakhir tak lagi mampu bersahabat meski tak saling memiliki?
Picikkah pikirku bila berharap kita mampu berdamai dengan masa lalu?

Guratan tanya terus tersirat di ruang inginku.Terasa gamang, terasa gamang memang akhirnya jika memaksa semua harus pada tempatnya.

Mengapa kita bertemu bila kenyataannya perpisahan kembali sedemikian pogah memojokkan rasa.

Huuff ... kau tak pernah sekalipun menjawab, lelaki. Kau hanya terus berlalu tanpa mampu kuhenti meski sejenak. Ini arogan ketidakpuasanmu menerima kepergianku yang sepihak setelah kutahu kau menyimpan rasa pada dia.

Dia kekasih yang tak pernah kau beri kata pisah yang membuatku dalam ketidakjelasan rasa.
Kau memilih bungkam ketika pekikku memenuhi sekat maya yang berdepa pada kita.

Aku kecewa!

Huff ... kuhela napas bernada kesal di hening malam yang berjelaga. Terpejam mata menahan lelah menjaga semua amarah.
Aku masih berakal dan menjunjung etika malu. Mengejar cintamu sungguh buatku tertatih, namun kau tetap tak peduli
Kau bergeming demi arogan itu.

Lalu kuseka airmata yang menderas sembari menatap pantulan rembulan sepenggal di sudut jeruji jendela.
Aku rindu kesendirian ini, namun aku lebih merindu pada hadirmu yang pernah mengisi ruang hampa di hati.

Sebelum malam berganti pagi benderang berteman rasa yang tak lagi sama. Kembali kueja rindu juga balas atas semua pengorbanan.

Ternyata pada ucap janji semalam lalu yang bagai putu basi itu, maya dan nyatamu tak lebih dari pecundang rasa yang berkoar semata semu.

***

Kota Daeng, 15.09.19




Judul : Puing
Oleh : Sedayu Peni A

Masih saja gaduh rintihan rindu ini untukmu. Terbingkai haru dalam larikan luka. Pun getar rasa masih sama. Namun kelu, enggan mengungkap semua.

Terdiam. Aku tatap kembali siluet wajah di selembar kusam. Lengkung senyum manis itu, dengan sorot mata sendu serupa malam tiada gemintang. Dulu, pernah ada bayang senyumku di sana.

Bagaimana mungkin kini aku sendiri? Menyulam sepi tanpa buai darimu lagi. 

Degub jantung kian serasa terhenti. Aku, sekias mati! Kasih, kepergianmu merampas seraut mimpi.

Kisah kita memang telah musnah. Terlarung oleh angin, kemudian jatuh terkubur di dasar bumi.

Pada tubuh yang pernah aku dekap jiwanya, aku akan tetap sini ... dalam puing bersimbol hati.

Purbalingga, 16 September 2019





Judul : Lengang
Karya : Irum Wr

Kenapa harus menyesali hujan yang datang, jika ia mampu membenamkan kerasnya tangis yang pecah. Seperti saat dirimu mengulurkan tangan memohon pertolongan. Menarik angan dalam diam. Memohon kasihan. 

Bukankah kamu pernah berucap setia selamanya sampai tubuh renta menggerogoti raga? Apakah engkau telah lupa atau hanya pura-pura lupa? Lalu aku bertanya, "Sedangkal itukah sebuah akhlak seorang pecinta?"

Ingin rasanya kupetikkan berkas cahaya matahari yang membara. Melengkungkan besi lalu meletakkan ke dalam cawan cermin yang di depan sana. Agar meleleh memenuhi ruang ingatan. Yang kosong dan nampak sunyi dari sebuah kenangan. 

Pikirku, dirimu akan segera datang membawa kepingan candu harap. Mengetuk pintu rindu lalu memasuki dari arah yang sama. Menikmati malam yang merayap, diam di hati sunyi tanpa pekik suara. 

Barangkali kini diriku yang berpikir ulang. Saat engkau tengah gila kemasyuran. Menjilati ludah yang telah terbuang. Menunggu hingga bait terakhir kehidupan menjadi khatam. 

Maka saat itulah kau tak kan pernah temukan, orang yang selalu dekat di kala engkau terhisap lumpur kesengsaraan. 

Jember, 15092019


Tamu Prosa Blog Dbanik

Judul : Masih Sanggupkah Kau Bertahan? Karya : Dian Ahmad  Tatap mata yang kian meredup, menampakan duka yang sepertinya menoreh telalu dala...