August 2019

iklan

Yang Kutakutkan



Pernah suatu hari kita berbincang, saat bersua di satu malam yang tidak terlalu bersahabat. Di bawah langit yang mendung bergelayut, di kota tempat kita bertemu. Sesekali ada sambaran kilat yang pecah menyebar, membuat angkasa sejenak bercahaya.

Kau duduk di depanku, menghadap tepat ke wajahku yang terpapar temaram lampu kota. Aku tidak pernah bisa mengartikan senyum yang kau berikan untukku malam itu, yang kuinginkan itu bukan senyum lantaran rasa cinta. Rasanya, sudah cukup memiliki May, sebagai cinta terakhirku.

Kita memang seringkali bertemu dan aku hanya sebagai tempatmu bercerita, tentang semua keluh kesah yang kau hadapi, selepas Dion, suamimu pergi meninggalkanmu. Kemarahanmu kau lampiaskan, kekesalan demi kekesalan akan sebuah penghianatan, kau ceritakan begitu gamblang. 

Istriku tidak pernah tahu akan hal ini, bukan karena mau menghianatinya, bukan ingin menyakitinya. Akan tapi, aku lebih menjaga perasaannya, agar hubungan kami baik-baik saja. Bukankah apa yang sedang terjadi memang sebatas persahabatan semata. Aku juga menganggap perempuan itu benar-benar hanya butuh teman curhat, itu saja tidak lebih. 

Tahun kedua adalah masa-masa sulit yang kuhadapi, di mana hati ini muncul gejolak yang begitu hebatnya, rasa yang terlahir dari temu-temu yang seringkali terjadi. Tak dapat dielakkan, perempuan itu mencintaiku, dengan terang-terangan tanpa tedeng aling-aling.

"Mas, aku mencintaimu!"

Aku terdiam, mulutku kelu, ini yang aku takutkan dan akhirnya terjadi, di taman itu awal kita berjumpa sudah pernah kukatakan, agar kau tak menyimpan bara asmara untukku, berulangkali kukatakan itu kepadanya, namun apa? Malam itu kau dengan wajah memelas mengatakan seluruh isi hatimu.

"Aku sudah beristri, dan kau tahu itu!"

Ia menggeleng tanda tidak peduli dengan apa keadaanku, aku kelimpungan mendapati situasi seperti itu, kuhempaskan asap rokok setinggi mungkin. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana, ingin rasanya berlari sejauh mungkin saat itu, jika saja perempuan itu tidak sedang berada dalam kondisi jiwa yang rapuh.

"Kita jalani saja seperti ini, Mas. Aku tidak akan menuntut lebih, aku tahu kau sayang sekali sama istrimu."

Apa aku harus berteriak menyalahkan ketololanku, jika pertemuan demi pertemuan, kenyamanan demi kenyamanan yang aku berikan kepadanya, pastilah akan melahirkan perasaan seperti apa yang sebenarnya tidak diinginkan.

"Baiklah, aku terima. Dengan catatan, kau tetap mencari pengganti Dion mantan suamimu."

"Aku setuju, Mas."

"Ingat, jangan pernah berharap lebih. Sebab, aku tidak mungkin pergi meninggalkan orang yang kucintai demi kamu."

Kau mengangguk, lalu menatapku dengan senyuman yang akhirnya aku tahu maknanya, jika kau sebenarnya sudah lama menyimpan perasaan itu, hanya saja kau masih mampu menahan untuk tidak mengatakannya kepadaku. Sekarang semuanya sudah sangat jelas, dan aku pun akhirnya mengerti.

Kita mengikrarkan diri menjadi sepasang kekasih, pada malam yang begitu larut, lewat pecahan tawa-tawa kecil yang keluar dari ponsel, hingga waktu ke waktu dan akhirnya kita pun menggila.

Aku semakin larut masuk ke dalam hubungan yang tak seharusnya terjadi, meski tidak berbuat yang tak senonoh, karena kita sepakat untuk saling menjaga itu, hingga perhatianku kepadanya, mengalahkan perhatianku terhadap istri yang setiap hari berada di dekatku, suami macam apa aku ini!

***

Aku tersentak saat kau menginginkan untuk hidup bersama, menginginkan adanya pernikahan. Katamu, aku begitu berarti untukmu. Sial! 

"Tidak! Aku tidak mau!"

Percakapan yang cukup memanas via ponsel, pada malam yang sepi dan lengang, tanpa ada siapa pun, hanya ada percakapan antara aku dan kau, hingga telinga terasa panas akibat terlalu lama menempelkan ponsel di telinga.

"Aku tidak bisa lepas darimu, Mas!"

"Ini di luar kuasaku! Aku tidak tahu harus ngapain?!"

"Kita menikah, Mas!"

"Tidak, aku tidak mau, meski aku mencintaimu, rasanya tidak mungkin untuk meninggalkan istriku!"

***

Perdebatan demi perdebatan pun akhirnya menjadi warna yang kelam di setiap malam-malamku, aku menjadi dihantui ketakutan demi ketakutan, aku takut jika tiba-tiba istriku tahu. Ah, aku benar-benar stres dibuatnya!

"Kita selesaikan saja, aku memutuskan untuk melupakanmu!"

Kau menangis sesenggukan, suaranya begitu jelas terdengar melalui ponsel yang kubiarkan tergeletak di atas meja, dengan posisi masih menyala, hingga suara tangis itu berhenti dan ponselku mati dengan sendirinya.

Kini, aku merawat luka yang telah kau sebabkan. Meski berat, namun ini harus terjadi, aku tidak ingin membiarkan cintamu terus tumbuh dan rimbun di hatiku, tak mau jika kau menutup seluruh rasa cintaku kepada istri yang sudah kumiliki. Aku ingin tetap mencintaimu meskipun tanpa memiliki.

Tegal 29/05/18

Tamu Prosa Blog Dbanik

Judul : Masih Sanggupkah Kau Bertahan? Karya : Dian Ahmad  Tatap mata yang kian meredup, menampakan duka yang sepertinya menoreh telalu dala...