Flash Fiction
Cerita Singkat - Dengan Judul: Kisah Kasih.
Tepat jam sembilan malam aku sampai di rumah. Tubuhku terasa penat sekali. Tugas kantor hari ini teramat banyak, mengingat hampir tutup tahun.
Di atas meja sudah ada secangkir kopi, namun sudah dingin. Iya, aku tidak sempat memberi kabar kepada Kasih, karena memang kesibukan yang teramat sangat. Tak lama kemudian mandi menjadi pilihan pertamaku, selain gatal, badan juga terasa gerah.
Kasih sudah duduk di ruang tengah selepas aku mandi, sepertinya ia mendengar suara kecipak air saat aku mengguyur tubuh.
"Pulang jam berapa tadi, Mas?"
Kasih membuka percakapan, matanya terlihat menyelidik.
"Tadi jam sembilan. Maaf, di kantor lagi banyak kerjaan, Sih." ujarku sambil mengenakan kaos tanpa lengan.
"Lembur ya?" tukasnya.
"Iya, biasa mau akhir tahun, laporan mesti dipersiapkan sedini mungkin, biar tidak kelabakan nantinya." jawabku dan mengambil posisi duduk di samping istriku.
"Ada yang ingin kubicarakan, Mas."
"Bicara saja, Sih." kuraih cangkir kopi yang sudah tidak panas itu, mungkin saja bisa sedikit mengobati rasa kantuk ini.
"Mau dipanaskan kopinya?"
"Tidak usah," tukasku lalu meneguk setengah isi cangkir.
Kasih menatapku, sepertinya ada rasa ragu ketika mau mengatakan sesuatu. Mungkin saja ia melihat lelah pada diriku, hingga ada rasa tidak enak? Entahlah.
"Mas."
"Iya."
Aku menatap wajah perempuan berkulit sawo matang, bermata indah, berambut ikal sebahu itu. Perempuan yang mampu membuatku mati-matian mengejarnya, perempuan dengan predikat cantik pada masanya. Ah, sekarang pun kamu masih tetap cantik.
"Iya, Sih. Katakan saja." kuraih tangan Kasih, untuk menguatkan niatnya mengutarakan apa yang akan ia utarakan.
"Amelia harus masuk TK tahun ini."
Deg. Dada ini bergemuruh, namun aku mencoba untuk tetap tenang di hadapan perempuan yang teramat kucintai.
"Tadi waktu kuajak anak kita jalan-jalan, ia merengek minta sekolah, gara-gara melihat Anik memakai seragam."
Aku terdiam. Kasih menunduk, entah apa yang ada di pikirannya.
"Tahun kemarin kamu melarangku memasukannya ke PAUD, aku terima, Mas. Namun kali ini anak kita harus sekolah!"
Tatap mata Kasih seperti mengulitiku, tak ada yang bisa terucap dari mulut ini, selain menghela napas berulang kali. Kopi dingin itu pun telah habis kutenggak, untuk sekadar memberi efek segar pada otak.
"Mas!"
Suara Kasih meninggi, kini aku yang tertunduk lemah. Rasa kantuk dan penat sontak hilang, berganti rasa yang lebih miris.
"Iya."
Kuberanikan diri menatap Kasih, seperti tahun kemarin, aku sudah siap dengan apa yang akan terjadi.
"Kasih, apa kamu masih belum bisa menerima, jika anak kita sudah tiada?"
NB : ini hanya cerita fiktif belaka dan jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat, ini benar-benar tidak disengaja.
22/09/2018.
No comments:
Post a Comment