(Cerpen Singkat) Orang Ke Tiga.
Pernah suatu hari kita berbincang, saat kita tengah bersua di satu malam yang tidak terlalu bersahabat, sebab ada mendung yang bergelayut resah di kelam langit kota tempat kita bertemu, sesekali ada sambaran kilat yang pecah menyebar, membuat angkasa sejenak bercahaya.
Kau duduk di depanku saat itu, menghadap tepat ke wajahku yang terpapar cahaya temaram lampu kota, aku sendiri tidak pernah bisa mengartikan apa itu senyum yang kau berikan padaku malam itu, aku selalu berharap itu bukan senyum bermuatan cinta, aku sudah cukup memiliki May, sebagai cinta terakhirku.
Kita memang seringkali bertemu, namun aku hanya sebagai tempat kau bercerita tentang semua kelu kesah yang kau hadapi, selepas suamimu pergi meninggalkanmu, kau marah! Kau lampiaskan kekesalan demi kekesalan pada waktu temu yang kita sepakati. Bukan untuk sebuah kencan, namun murni sebagai sarana kamu melampiaskan semuanya tentang Dion mantanmu.
Istriku tidak pernah tahu akan hal ini, bukan karena aku mau menghianatinya, bukan aku ingin menyakitinya, tapi aku lebih menjaga perasaannya, aku tidak akan memberi tahu sebab aku ingin hubunganku baik - baik saja, dan aku juga menganggap perempuan itu benar-benar hanya butuh teman curhat, itu saja tidak lebih. Hingga tak sadar semua berlangsung begitu cukup lama, dan semua masih dalam kondisi yang terkendali.
Tahun kedua adalah masa - masa sulit yang kuhadapi, di mana hati ini muncul gejolak yang begitu hebatnya, rasa yang terlahir dari temu - temu yang sering kami lakukan, dan akhirnya pada suatu hari, perempuan itu mencintaiku, dengan terang-terangan tanpa tedeng aling-aling.
"Mas, aku mencintaimu!"
Aku terdiam, mulutku mulai kelu, ini yang aku takutkan dan akhirnya terjadi, di taman itu awal kita berjumpa sudah kukatakan, agar ia tak menyimpan bara asmara untukku, dan aku berulangkali mengatakan itu kepadanya, namun apa? Malam itu kau dengan wajah memelas mengatakan seluruh isi hatimu.
"Aku sudah beristri, dan kau tahu itu!"
Ia menggeleng tanda tidak peduli dengan apa yang aku katakan, aku kelimpungan mendapati situasi seperti itu, kuhempaskan asap rokok setinggi mungkin, kuhirup lagi asap rokok yang ada di sela-sela jemariku. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana, ingin rasanya aku berlari sejauh mungkin saat itu, namun ia pun tengah berada dalam kondisi jiwa yang rapuh.
"Kita jalani saja seperti ini, Mas. Aku tidak akan menuntut lebih, aku tahu kau sayang sekali sama istrimu."
Apa aku harus berteriak menyalahkan ketololanku ini, jika pertemuan demi pertemuan, kenyamanan demi kenyamanan yang aku berikan kepadanya, pastilah akan melahirkan perasaan seperti apa yang sebenarnya tidak aku inginkan.
"Baiklah, aku terima. Dengan catatan, kau tetap mencari pengganti Dion mantan suamimu."
"Aku setuju, Mas."
"Ingat, jangan pernah berharap lebih dari aku, sebab aku tidak mungkin pergi meninggalkan orang yang aku cintai demi kamu."
Kau mengangguk, lalu menatapku dengan senyuman yang akhirnya aku tahu maknanya, jika kau sebenarnya sudah lama menyimpan perasaan itu terhadapku, hanya saja kau masih mampu menahan untuk tidak mengatakannya kepadaku. Namun sekarang semuanya sudah sangat jelas, dan aku pun akhirnya mengerti.
Kita akhirnya mengikrarkan diri menjadi sepasang kekasih, pada malam yang begitu larut, lewat pecahan tawa-tawa kecil yang keluar dari ponsel, hingga waktu ke waktu dan akhirnya kita pun menggila. Sebab aku semakin larut masuk ke dalam hubungan yang tak seharusnya terjadi, meski tidak berbuat yang tak senonoh karena kita sepakat untuk saling menjaga itu, namun perhatianku kepadanya mengalahkan perhatianku terhadap istri yang setiap hari berada di dekatku, suami macam apa aku ini!
Aku tersentak saat kau menginginkan untuk hidup bersama, menginginkan adanya pernikahan, sebab katamu aku begitu berarti untukmu.
"Tidak! Aku katakan tidak!"
Percakapan yang cukup memanas via ponsel seperti biasanya, pada malam - malam yang sepi dan lengang tanpa ada siapa pun, hanya ada percakapan antara aku dan dia, hingga tak jarang telinga terasa panas akibat terlalu lama menempelkan ponsel di telinga.
"Aku tidak bisa lepas darimu, Mas!"
"Ini diluar kuasaku! Aku tidak tahu harus ngapain?!"
"Kita menikah, Mas!"
"Tidak, aku tidak mau, meski aku mencintaimu, namun rasanya tidak mungkin aku meninggalkan istriku!"
Perdebatan demi perdebatan pun akhirnya menjadi warna yang kelam pada setiap malam - malamku, aku menjadi dihantui ketakutan demi ketakutan jika tiba-tiba istriku tahu, ah aku benar-benar stres dibuatnya!
"Kita selesaikan saja, aku memutuskan untuk melupakanmu!"
Dia menangis sesenggukan, suaranya sangat begitu jelas terdengar melalui ponsel yang tengah kubiarkan tergeletak di atas meja dengan posisi masih menyala, hingga tangismu usai dan ponsel itu mati dengan sendirinya.
Sekian lama aku masih merawat luka yang telah kau sebabkan, meski berat namun ini harus terjadi, aku tidak ingin membiarkan cintamu terus tumbuh dan rimbun di hatiku, aku tak mau kau menutup seluruh rasa cintaku kepada istri yang sudah kumiliki, aku ingin tetap mencintaimu, namun bukan untuk memiliki, dan aku selalu berharap agar kau cepat menemukan seseorang yang begitu menyayangimu, dan tentunya itu bukan aku.
NB : ini hanya kisah Fiktif semata, jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat dalam cerita, ini benar-benar tidak disengaja.
14/09/18.
No comments:
Post a Comment