iklan
Cerita Pendek (Mawar Ingin Sekolah)
Judul: Mawar Ingin Sekolah
Mawar menghela napas. Rasa letih tergambar di wajahnya, wajah seorang anak mungil, yang sudah ikut bergelut dengan kerasnya kehidupan.
"Berhentilah, Nak. Jangan kau paksa." suara Ibu begitu lembut menegurnya.
"Mawar ingin sekolah, Bu. Makanya harus giat membantu ibu," ujar Mawar.
Tangan mungil itu masih sibuk mengais-ngais sampah dengan gancu.
"Jika Tuhan berkehendak, pasti kamu sekolah, Nak." tatapan mata Ibu begitu dalam, ia berharap ucapan itu mampu meneduhkan hati putri satu-satunya.
Mawar hanya seorang anak kecil, ia ingin sekolah seperti teman-teman sepermainannya. Tahun lalu ia gagal masuk sekolah, lantaran tidak ada biaya. Kemauannya sangat tinggi, untuk mewujudkan keinginan tersebut.
"Tabunganku sudah berat, Bu," ujar Mawar suatu hari, sambil menggoyang-goyangkan kaleng biskuit berkarat di tangannya.
"Ya sudah, biar tambah banyak, Nak. Semoga tahun depan, kamu bisa masuk sekolah." mata Ibu terlihat berkaca-kaca.
Bayanganya kembali ke masa lalu, ketika masih ada Karyo, suaminya. Lelaki yang sangat dicintai, penuh tanggung jawab, serta begitu penyayang.
Karyo seorang pegawai di salah satu perusahaan swasta, dengan gaji yang sudah cukup lumayan. Namun kehidupan itu berbalik 180 derajat, sejak suaminya sakit-sakitan, dan banyak mengeluarkan uang untuk berobat.
Harapan tinggal harapan, Karyo tidak selamat, Tuhan memanggilnya, dan Mawar baru berumur satu tahun saat itu.
"Ibu sedih ya? Kalau tahun ini uangnya belum cukup, Mawar tidak apa-apa kok, jika harus menunggu tahun depannya lagi."
Mawar memeluk Ibunya. Ada rasa menyesal, ia menganggap permintaan itu terlalu tinggi, untuk mereka yang hanya mengandalkan penghasilan dari memulung.
"Tidak, Nak. Bukan itu, kamu harus sekolah tahun ini, apapun akan ibu lakukan, demi cita-citamu." bulir bening dari sudut mata perempuan itu pun mengalir.
Meraka hidup di kota besar yang terbilang keras, dan tidak memiliki ketrampilan sama sekali, maka pilihan menjadi pemulung pun dijalani, demi tuntutan perut. Mereka juga tidak mau, jika harus mengandalkan belas kasihan dari orang.
**
"Badan ibu panas sekali, hari ini kita libur mulung ya, Bu." ucap Mawar, sambil menempelkan punggung telapak tangannya.
Sejak tadi pagi Ibu menggigil, dan tidak beranjak dari ranjang besi yang catnya sudah banyak terkelupas, juga tampak berkarat itu.
"Tidak apa-apa, Nak. Ibu baik-baik saja kok, ini hanya demam biasa," ujarnya sambil mencoba beranjak.
"Biar aku belikan obat, Bu. Mawar tidak mau ibu sakit." ia pun segera berlari ke warung, yang kebetulan tidak jauh dari rumah.
Setibanya di rumah, Mawar menjerit. Ibu sudah terkulai di lantai, tetangga pun berdatangan, lalu segera membawanya ke rumah sakit.
"Ibu, jangan tinggalkan Mawar," isaknya.
Tangan lembut Ibu membelainya, ia menatap Mawar sedalam mungkin. Ada hal yang ingin disampaikan, namun seperti tertahan. Perempuan setengah baya itu menghela napas.
"Ibu kenapa? Mau minum?" tanya Mawar, sambil mendekatkan gelas ke bibir Ibu.
"Nak, siapa yang membawa ibu ke sini?"
"Tetangga kita, Bu."
"Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?" gumam Ibu.
"Mawar bawa tabungan kok, Bu. Yang penting ibu sehat," anak kecil itu mengambil kaleng biskuitnya, tempat di mana ia menyisihkan uang jajan.
Tangis Ibu pecah, ia merasakan apa yang dirasakan Mawar, anaknya. Bahwa, kehilangan teramat menakutkan, namun di sisi lain, ia tidak bisa berbuat banyak, jika ia menjadi penghancur impian anaknya.
"Tabungan itu kan untuk daftar sekolahmu, Nak?" ucapnya parau.
Mawar terisak.
Ia memeluk erat tubuh perempuan setengah baya di depannya. Ada rasa damai, saat kepala itu rebah di dada Ibu, lalu ia tumpahkan airmata, hingga tak sepatah kata pun keluar dari bibir mungilnya.
"Maaf, Ibunya mau diperksa dulu ya." suara suster membuat Mawar melepaskan pelukan.
Mata bocah itu tak henti mengamati.
"Bagaimana ibu saya, Dokter?" tanya Mawar polos.
"Ibumu baik-baik saja, Nak. Besok juga boleh pulang."
"Dokter tidak bohong kan?"
"Tidak, Nak. Ibumu sudah bisa pulang besok." Dokter memperjelas ucapannya.
Baca juga: flash fiction judul bulan purnama.
Mawar mengambil tabungan yang masih utuh di dalam kaleng biskuit itu, lalu segera ia berikan kepada dokter yang baru saja selesai memeriksa Ibunya.
"Apa ini, Nak?" tanyanya.
"Ini untuk membayar." jawab Mawar polos.
Dokter itu tersenyum, ia elus rambut Mawar.
"Simpan saja, Nak. Besok Ibumu pulang, semua biaya sudah ada yang menanggung."
Dokter itu menatap iba, dielusnya kembali rambut Mawar, rambut yang sebenarnya bagus, namun kemerahan karena terbakar panas matahari.
"Oh, iya. Tahun ini kamu masuk sekolah ya, biar bapak yang akan mengurus semuanya," Dokter tersebut rupanya mendengar percakapan mereka.
Mawar terdiam, ia lari kepelukan Ibunya, tak beberapa lama kemudian tangis keduanya pecah. Ada rasa bahagia yang tak mampu mereka lukiskan dengan apa pun, selain dengan airmata serupa rinai hujan.
Tuhan memang begitu menyayangi ciptaan-Nya. Hingga di balik musibah yang mereka terima, ada hikmah yang sangat luar biasa.
Tahun ini, Mawar sekolah. Wajahnya semringah, ia ingin menggapai cita-cita, demi Ibu, wanita yang teramat dicintai.
NB: ini hanya cerita fiktif belaka, dan jika ada kesamaan nama dan tokoh, ini benar-benar tidak disengaja.
Tegal 08/02/2018
Flash Fiction (Cinta Tiga Segi)
Cinta Tiga Segi
Aku tersenyum kalau mengingat - ingat masa dulu, saat aku jatuh cinta kepada suami dari seseorang yang sekarang menjadi temanku, kisah yang menurutku lucu juga untuk diceritakan kembali, namun bukan kepada temanku tersebut.
Untung saja Lastri tidak tahu soal ini, karena aku juga tidak ingin dia tahu sampai kapanpun, biar tidak terjadi perselisihan dengan dia tentunya.
Ceritanya begini;
Sudah setahun aku menjalin suatu hubungan perasaan yang tak seharusnya, namun entah mengapa aku begitu merasa nyaman sekali, hingga aku sering lupa daratan dibuatnya.
Mas Adi namanya, lelaki itu sudah beristri dan juga sudah mempunyai dua orang anak, aku tahu persis semuanya, namun sangat sulit sekali untuk menolak hadirnya rasa cinta ini, rasa yang seharusnya tidak tumbuh dan kubiarkan bersemi. Aku tahu persis betapa sakitnya jika diduakan, tapi untuk meninggalkan apalagi melupakan Mas Adi, aku tidak bisa, karena aku sudah terlanjur sayang dan cinta sama dia.
Cinta sudah terlanjur bersemi, cukup sulit untuk membunuhnya. Maka kubiarkan saja rasa itu kian rimbun dan subur memenuhi hatiku, toh aku menikmati semua prosesnya.
Pagi ini, Mas Adi datang. Aku bahagia sekali. Namun rasa bahagia itu tak bertahan lama, lelaki itu datang bersama seorang perempuan cantik, berkulit putih mulus. Hancur sudah perasaanku.
"Ma, aku datang bersama, May. Calon Ibu dari anak-anak kita, biar anak-anak ada yang merawat," ujar lelaki itu, sambil menabur bunga di atas pusara Lastri, yang kebetulan makamnya bersebelahan denganku.
Aku benar-benar marah, pengen teriak dan tentunya histeris, lelaki itu ternyata sudah memiliki calon pengganti Lastri, padahal aku sudah begitu menaruh harapan kepada lelaki itu.
"Mas, Andi! Kamu kejam!" jeritku sambil berlalu pergi dengan perasaan yang begitu sakit, sakit sekali rasanya.
NB: Ini hanya cerita fiktif belaka, dan jika ada kesamaan nama dan tokoh, ini benar-benar tidak disengaja.
BACA JUGA: kumpulan flash fiction
20/01/2019
Subscribe to:
Posts (Atom)
Tamu Prosa Blog Dbanik
Judul : Masih Sanggupkah Kau Bertahan? Karya : Dian Ahmad Tatap mata yang kian meredup, menampakan duka yang sepertinya menoreh telalu dala...
-
Resep Tahini Brownies Halo sobat blogger semua, kita jumpa lagi di kesempatan ini ya, dan kali ini saya akan memberikan resep tahini ...
-
Resep Membuat Glotak Makanan Khas Tegal Kali ini saya akan membagi resep glotak, makanan khas Tegal yang tentunya sangat lezat dan ni...
-
Kumpulan Flash Fiction Contoh. Di Ruang Tunggu. Aku terdiam meskipun duduk bersebelahan dengan Ayah. Bukan karena aku tak sayang,...