Kisah Si Mbah dan Bejo (09-10)

iklan

Kisah Si Mbah dan Bejo (09-10)

Kisah Si Mbah dan Bejo (09-10)


Bejo Pagi Ini

Weladalah, bangun tidur kok pengennya nanak nasi, rebus air. Ya sudah aku lakukan saja, kan malah bagus ini.

Bergegaslah Bejo ke dapur, melakukan apa yang ada di dalam pikirannya. Selesai memasak, ia juga cuci baju, ngepel dan apa saja tugas yang biasa dilakukan oleh istrinya.

Kopi sudah disiapkan di meja, juga sepiring singkong yang tadi digoreng, wah Bejo hebat pagi ini. Pagi yang sangat luar biasa buat lelaki gembul itu, biasanya jam segini sih dia masih molor, masih asik di dunianya, dunia mimpi.

"Mana kopinya!"

Surti istrinya sudah bangun ternyata, lalu ia pergi ke meja, duduk sambil ngucek mata, lalu nyomot singkong goreng.

"Enak ini singkong! Nagmbil di kebun mbah ya?"

"Iya!"

Bejo duduk di samping istrinya, sambil memijit pundaknya.

"Nanti belikan pembalut ya." ucap Bejo pelan.

"What! Pembalut?!" Surti kaget.

"Kenapa to ya? Ada yang aneh?" tangkis Bejo.

"Sepertinya kita ketukar deh kang! Duh iki ndak bisa dibiarkan, lha nanti aku yang nyangkul di kebun dong!" Surti panik.

"Apa iya sih? We ladalah, sepertinya benar ini, kan aku ndak bisa masak, kok ujuk-ujuk pintar masak!" Bejo kelimpungan.

Mereka berdua sepakat kembali tidur pagi ini, mereka berharap bangun dalam keadaan seperti sedia kala.



Tegal 18/02/2018



Baca juga: kisah-si-mbah-dan-bejo-06-07.
Kisah Si Mbah dan Bejo (09-10)


Si Mbah Sakit

Sudah tiga hari si mbah terbaring sakit, mungkin saja memang sudah sepuh, jadi wajar saja kalau tubuhnya kian mudah terserang sakit. Bejo memang cucu yang paling setia dibandingkan dengan yang lainnya. Pagi itu Bejo membawa serantam bubur yang dibuat istrinya, dan serantam lagi olahan daging ayam yang di opor, hmm ... baunya sangat menggugah selera tentunya. Kebetulan sekali rumah si mbah tidak dikunci, jadi Bejo bisa nyelonong masuk dengan mudah.

Di depan pintu.

"Mbah, kata Sumi, mbah lapar ya?" tanya Bejo memastikan.

"Hoak!"

Hening.

Bejo clingak-clinguk, entah apa maksudnya, hanya dia yang tahu bahasa tubuhnya.

"Mbah, sudah lapar belum? Ini Sumi masak bubur sama opor kesukaanmu lho, Mbah!" ulang Bejo lagi.

"Hoak! Hoak!"

Cucu kesayangan si Mbah yang satu itu tersenyum, dia segera menghampiri meja makan yang sudah tampak lusuh tak terurus itu, diambilnya sendok, kemudian opor ayam itu dicampur sama bubur buatan Sumi istrinya.

Sejam kemudahan si mbah keluar kamar, dia mencari - cari sesuatu, namun sepertinya apa yang dicari tak ketemu. Langkahnya sekarang menuju bale tempat ia bisa nongkrong kalau lagi suntuk, biasa di bawah pohon asem jawa di depan rumah.

Bejo tampak tertidur dengan lelap, kaos butut yang dipakainya tampak menyingkap ke atas, sehingga perut besarnya tampak menyembul. Si mbah geleng-geleng kepala, cucunya itu memang hobi sekali tidur.

"Le, bangun!" bentaknya untuk membangunkan Bejo.

Bejo kaget dan terbangun, matanya masih terlihat merah, mungkin saja aliran darah yang di kepalanya belum stabil.

"Ada apa to, Mbah? Bikin kaget saja?!" Bejo sedikit merajuk.

"Mana bubur sama opor yang kamu bawa, kok dicari tidak ada?" ujar si mbah.

"Ya tak makan to, Mbah." muka Bejo biasa saja, seperti tak berdosa.

"Lho, katanya buat saya, kok kamu yang makan itu gimana?" si mbah tak habis pikir.

"Lho, kan tadi mbah sendiri yang bilang hoak, hoak, waktu ditanya lapar apa enggak." jawab Bejo polos atau sok polos.

"Mangsudmu apa to?" Mbah rada naik darah.

"Hoak itu kan hoax to? Yang orang bilang isu, atau tidak benar, iya to?" Bejo coba menerangkan.

"Oalah, Jo. Yang tadi si mbah hoak, hoak di kamar itu karena mau muntah! Perutku memang lagi mual-mual karena masuk angin, Jo!" Mbah melotot.

"Waduh, lha terus gimana ini, wong Sumi masaknya cuma segitu - gitunya saja, kan memang sebenarnya itu khusus buat si mbah," ujar Bejo sambil garuk-garuk kepala, padahal gak gatal.

"Dasar .... "

Belum sempat si mbah meneruskan ucapannya, Bejo sudah duluan lari terbirit-birit meninggalkannya.



Tegal 11/12/2017

No comments:

Post a Comment

Tamu Prosa Blog Dbanik

Judul : Masih Sanggupkah Kau Bertahan? Karya : Dian Ahmad  Tatap mata yang kian meredup, menampakan duka yang sepertinya menoreh telalu dala...