iklan
Kumpulan Belajar Menulis Prosais.
Kepada Puan
Kepada puan yang pernah memanggilku sayang, apa kabarmu?
Sudah birukah langit yang memayungi kelam hatimu? Menebarkan kembali gemintang, memancarkan lagi cahaya rembulan?
Katamu jelaga adalah langitmu, sejak aku berlalu meninggalkan semuanya tentangmu, melenyapkan jejak - jejak kita yang pernah ada, dan menyisakan isak yang paling miris di sepanjang kisah yang pernah ada.
Airmata menggenang adalah akhir semua, dari perjalanan yang pernah aku dan kamu susuri bersama, menyoretkan cerita pada lembar - lembar hari yang seharusnya putih, jika pertemuan itu tak pernah ada.
Kita pernah mimpi bersama, melawan kerasnya mahligai, melintas waktu yang akan datang silih berganti. Langit jiwa kita pun riuh atas asa - asa yang datang susul menyusul, dan kita tak peduli itu.
Sudahlah, aku tidak akan memungut kembali semua itu, aku membiarkan semua lenyap pada waktu yang belum menemui klimaknya, sebab kita memang tidak harus bersama, seperti apa kata hati aku dan kamu.
Juli - 07 - 18
AIRMATA PUAN
Ada gemericik air pada teduh matamu, mengalir melalui rasa yang kutumpahkan, hingga puan hanya mengenal bahagia, bukan kepedihan.
Gelisah itu sudah berlalu, tak lagi memayungi kalutnya jiwa, merepihlah ia sebelum bertahta, dan layu di tengah ladang jiwa yang tersirami doa - doa suci.
Airmata puan hanya untuk bahagia, bukan kepedihan. Di hati hamba tempatmu bersarang, menenggelamkan sejatinya rasa yang tak mungkin terbantahkan, jika puan "sebelah jiwaku"
Di rebah dadaku tangis puan telah jatuh, menembus ke dalam qalbu, bercerita tentang laut jiwa dengan semburat ranum jingga, kecipak camar bermain ombak kecil, menyiratkan tenangnya apa yang kaurasa.
Pemecah sunyi itu telah jauh berlayar, menyusuri geliat riak untuk pulang, mencari bahtera suwung, sebagai labuhan. Hingga jaman tak mengirim ia pulang.
Mari kita rayakan suka cita, puan. Menciptakan kembali cerita bahagia, yang dulu pernah bersimbah prahara, hingga camar - camar nyaris tak lagi bernyanyi di atas laut yang tengah kita arungi bersama.
28 / 07 / 2018
Sebelati Itukah Puisiku?
Puan, tahukah engkau? Jika aku hanya memainkan kata-kata, merangkainya sedemikian indah, lalu engkau membacanya sebagai nyata.
Aku hanya bermain kata, lalu kenapa engkau bermain rasa?
Salahku apa, jika sekarang kau terluka karenanya?
Uajrmu penaku bak belati, yang siap merobek setiap tarikan napasmu, saat diksinya mulai kaubaca, dari bait ke bait.
Puan, maafkan aku.
05/08/2018
Kupuisikan Engkau.
Entah kenapa malam ini aku ingin sekali berpuisi, memuisikan apa saja tentang kamu, kamu yang pernah singgah di hati, sebagai kekasih.
Semua memang sudah tidak seindah dulu, karena jalan kita pun sudah tak sama lagi, namun kerinduan akan kamu seringkali mengganggu di saat aku tengah sendiri memeluk sepi, seperti malam ini.
Aku pernah memanggil kamu "kekasih" dan itu teramat dalam dari hati yang paling dalam, sebab aku tidak pernah main - main kalau soal rasa, karena aku tahu rasanya patah hati, yang telah berkali-kali pernah menghantamku.
Kita memang akhirnya memilih untuk saling melupakan, karena sesuatu hal, bukan lantaran aku atau kamu saling menyakiti, namun hanya soal waktu saja yang tidak tepat atas pertemuan kita.
Jujur, hingga saat ini aku masih tidak mengerti, atas takdir yang membuat kita sampai begini? Kita bagai melukis cinta di atas air, namun sejenak hilang terbawa riak yang disebabkan gerak angin.
Aku entah, dan kamu juga entah soal rasa, kita sama-sama tidak tahu kenapa semuanya terjadi begitu saja, tanpa kita sadari semua sudah terlalu larut dan menyebar di segala penjuru hati, hingga seakan kita lupa akan apa yang ada di belakang kita.
Malam ini aku teramat rindu sapa di antara kita, di saat hening mulai hadir menyergap, lalu kita bercengkerama di kisi - kisi waktu yang ada, meski tanpa sentuh, namun kita seakan berada pada satu dimensi ruang dan waktu.
Kekasih, yang dulu pernah singgah, malam ini aku merindumu, aku tidak tahu mesti senang atau sedih, sebab itu sudah tidak penting lagi, sebab rindu ini hanya akan berlalu begitu saja, dan tak akan pernah ada jamah dari kamu.
Aku sudah melarung semua kisah yang pernah aku dan kamu ciptakan bersama, dan aku pun sebenarnya ingin sekali melupakan apa saja yang pernah terjadi, hingga rasa ini sama persis ketika aku belum mengenalmu.
Semoga kelak tidak akan pernah ada cerita seperti ini lagi, aku sudah begitu lelah. Aku telah jatuh ke dalam lautan fantasti yang cuma menghasilkan euporia sesaat saja, dan itu sungguh membuatku semakin sadar, jika aku tidak akan pernah lagi untuk mengulangi kisah yang sama.
Cukup denganmu saja aku begini, tidak dengan siapa pun juga kelak, itu yang selalu aku pinta, sebab apa - apa yang pernah kita ciptakan bersama, kini menjadi luka yang begitu membekas dalam hidupku, hingga butuh waktu lama untuk mengembalikannya seperti sedia kala.
Selamat malam buat kamu yang pernah aku panggil kekasih, aku hanya ingin kamu tidak terluka seperti aku, sebab kau butuh lelaki selain aku, dan jalanmu masih terlampau panjang, teruskan melangkah dan jangan berhenti di aku. Pergilah...
Baca juga: Belajar menulis prosais
19/06/18
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Tamu Prosa Blog Dbanik
Judul : Masih Sanggupkah Kau Bertahan? Karya : Dian Ahmad Tatap mata yang kian meredup, menampakan duka yang sepertinya menoreh telalu dala...
-
Resep Tahini Brownies Halo sobat blogger semua, kita jumpa lagi di kesempatan ini ya, dan kali ini saya akan memberikan resep tahini ...
-
Resep Membuat Glotak Makanan Khas Tegal Kali ini saya akan membagi resep glotak, makanan khas Tegal yang tentunya sangat lezat dan ni...
-
Kumpulan Flash Fiction Contoh. Di Ruang Tunggu. Aku terdiam meskipun duduk bersebelahan dengan Ayah. Bukan karena aku tak sayang,...
No comments:
Post a Comment