Cerita Pendek (Percakapan Di Serambi Rumah)

iklan

Cerita Pendek (Percakapan Di Serambi Rumah)

Cerita Pendek (Percakapan Di Serambi Rumah)


Percakapan Di Serambi Rumah.



Pagi ini cukup cerah, udara masih enak di hirup, kebetulan lalu - lalang kendaraan belum begitu banyak, aku duduk di serambi rumah sambil mengamati Ibu - Ibu yang sedang asik memilih aayuran di tukang sayur yang kebetulan sering ngider di kampung ini.


Asik juga melihat kegiatan seperti ini, sambil ngopi dan santai ditemani singkong goreng yang masih hangat, beuh tambah nikmat!


"Yu, masak apa buat sahur besok?"

Ibu berperawakan kurus itu bertanya kepada Ibu berambut ikal yang ada di sebelahnya.

"Lah ini masih bingung mau masak apa? Ayam juga sudah naik, mana gaji suami gak ikut naik!"

Jawaban yang cukup panjang, sambil memilah - mjlah sayuran di depannya.

"Nah ini Ibu Wina gak ikutan heboh ngeborong belanjaan buat sahur besok?"

Celetuk abang tukang sayur yang memperhatikan Ibu yang satu ini terlihat kalem - kalem saja.

"Gak, Bang! Aku sih mau bulan puasa mau gak, masak ya tetap biasa saja!"



Jawab Ibu Wina kalem, di tangannya sudah ada daun teropong bawang, telor sekitar seperempat kilo, dan cabe merah.

Baca juga: cerpen di ujung senja.


"Duh, kan setahun sekali, Bu. Apa salahnya?"

Sambung Ibu Harti yang sedari tadi diam sambil asik memilih sayuran itu.

"Kalau dulu iya, saya nurutin keinginan anak - anak, namun pada akhirnya keuangan pun menjadi membengkak, kan Ibu tau suamiku hanya karyawan pabrik."

"Tapi apa anak - anak jeng nerima gitu?"

"Alhamdulillah, Bu. Awalnya memang mereka ngambek, namun lama - lama mereka mau ngerti juga."

"Wah, Jeng Wina bisa banget ya meyakinkan anak - anaknya!"

Timpal Ibu yang bertubuh kurus di depannya.

"Iya, Bu. Kan Rosul memang mengajarkan kita untuk prihatin juga, agar tidak menjadi boros ketika sedang menjalankan ibadah puasa, malah menuruti hawa nafsu sebenarnya bisa kita redam."



Keempat Ibu - Ibu itu terdiam merenung, mereka manggut - manggut sambil mesam - mesem sendiri.



"Betul juga ya, Jeng! Kan memang kita disuruh prihatin, bukan malah membiarkan keinginan begitu saja, yang tidak biasa ada ayam goreng jadi di ada - adain!"

"Iya, mana harga daging ayam naik!"

"Nah, itulah Ibu - Ibu, kenapa saya menerapkan makan seperti sebelum puasa, kan yang dinilai itu ibadah puasa kita, bukan lauk pauknya!"


Ibu - Ibu itu semakin manggut - manggut tanda mengerti, mereka pun sebenarnya tau namun selama ini mereka hanyalah mengikuti keinginan yang sebenarnya bisa diredam.


"Iya, Jeng! Saya akan mengikuti saran Jeng saja, biar tidak membengkak pengeluarannya!"

"Silakan, Ibu. Saya mah sudah tiga kali puasa ini menerapkan hidup sederhana, kan uangnya bisa untuk membayar zakat, kalau ada lebih bisa kita bagikan sama saudara yang datang ke rumah!"


Wah, sungguh sangat bagus sekali apa yang di sampaikan oleh Ibu Wina tersebut, aku juga ikut manggut - manggut sambil menyeruput kopi.


Mereka pun larut dalam obrolannya, sambil memilih sayuran, ada sebagian yang sudah pulang, namun masih ada beberapa yang masih sibuk di situ.


Sepagi ini aku sudah mendapatkan pencerahan lewat percakapan Ibu - Ibu tadi, pelajaran yang sangat bagus sekali, saya kembali manggut - manggut tanda setuju atas apa yang telah di sampaikan oleh Ibu Wina, perempuan yang mencoba tetap berahaja, sebab memang benar jika ibadah puasa itu yang menjadi penting adalah bagaimana kita menahan segala nafsu yang ada dari imsak hingga datangnya berbuka puasa, namun alangkah baiknya jika kita terus menahan nafsu hingga kapan pun, menahan nafsu yang bersifat tidak baik tentunya.




16/05/2018  dbanik

No comments:

Post a Comment

Tamu Prosa Blog Dbanik

Judul : Masih Sanggupkah Kau Bertahan? Karya : Dian Ahmad  Tatap mata yang kian meredup, menampakan duka yang sepertinya menoreh telalu dala...