iklan
Kisah Si Mbah Dan Bejo (05-06)
Lebaran sudah di ambang pintu, Bejo sibuk menghitung hari dengan jarinya. Sesekali kepalanya mendongak ke atas seperti sedang berpikir.
"Sedang apa koe, Le? Dari tadi tak liat seperti orang sibuk. Lah opo sih yang kamu hitung?" tanya si mbah penasaran.
"Nganu, lagi menghitung kapan lebaran tiba, Mbah, " ujar Bejo sok sibuk.
"Gayamu, Le. Puasa kamu aja banyak yang bolong, dih malu tau sama Asep Sudrajat anaknya simbok Rumi," ujar simbah terkekeh.
"Simbah kenapa sih, aku cucumu. Malah dibandingkan sama si Asep. "Bejo nesu.
"Pulang sana, Sumi nanti nyari kamu, Le. Lah ini juga sudah jam 5 sore, meh waktune buka puasa," ucap si mbah serius.
"Simbah mau kemana to, tumben rapi? Jangan bilang mau ketemu Dewi Senja Sekali, co cuit ..., " ujar Bejo meledek.
Simbah tumben gak marah, mungkin karena sudah lelah sekali ngadepin cucu mbelgedesnya.
"Simbah mau buka puasa di rumah adikmu, pulangnya besok, Le. Bar salat subuh," ujar si mbah menerangkan.
"Nyoh kunci rumah simbah, koe jaga rumah si mbah, saiki kono balik disik, meh magrib loh. " simbah pun berlalu meninggalkan Bejo.
Baca juga: kisah-si-mbah-dan-bejo-03-04.
Jam lima pagi lebih si mbah pulang ke rumah, sesampainya di halaman, ia mendapati Bejo tertidur di bawah pohon asem, Bejo memang begitu, kalau sudah tidur, seperti orang mati suri, tak perduli badannya habis digigit nyamuk.
"Tangi woi ...!" Si mbah coba membangunkan Bejo.
Bejo kaget bukan main, ia coba menenangkan diri, lalu ia mengamati lelaki tua di depannya.
"Oalah, Mbah. Kenapa belum berangkat to ya? " tanya Bejo.
"Maksud kamu opo, Le?" Si mbah rada pusing.
"Katanya mau kerumah Martinah, kok masih di sini ki piye? " tutur Bejo.
"Mbelgedes! Berarti koe tidur dari kemarin sore, Le! Koplak tenan koe, Le!"
Bejo coba mengingat kembali, tak lama kemudian ia tersadar bahwa selepas si mbah berangkat, Bejo memang rebahan lagi di bale bawah pohon asem.
"Ya ampun, brarti aku belum buka puasa mbah, lah ini jam berapa to? " tanya Bejo bingung.
"Wis imsaaaak ...!" Teriak si mbah di telinga Bejo.
Bejo pulang tanpa kesan dan pesan, hatinya resah dan gelisah, karena ia harus tetap berpuasa.
"Hiks hiks hiks ..., " Bejo pulang dengan berlinang air mata.
"Muehehehe, rasakno. Mulane sing nurut karo si mbah!" Teriak si mbah.
Bejo terus berjalan tanpa menoleh, selera humornya hilang, jalan saja mungkin sudah tak bergairah.
Tegal 07 /06 /2017
Kisah Si Mbah Dan Bejo 06
Selepas salat isa Bejo duduk-duduk nyantai di bawah pohon asem Jawa, yang letaknya tepat di depan rumah simbah, memang asik sih suasananya, hening dan syahdu ( ngomong opo koe Jo)
Dih, aroma parfum simbah begitu menyengat, padahal jarak tempat Bejo duduk ke rumah simbah itu bisa limapuluh langkah, hmmm ... Bejo mencium gelagat rancu nih.
"Mbah, mau kemana to ya?" Bejo bertanya ketika melihat simbah keluar rumah.
"Lah, ngopo tanya-tanya? Meneng ae koe, Le, " ujar simbah sambil nuntun sepeda onthel kesayangannya.
"Ditekani malah pergi, pie jal simbah kui?" Bejo merajuk.
"Meneng, Jo. Aku mau happy tau!" ealah, simbah mulai genit rupanya.
Bejo memutuskan untuk menunggu simbah, karena ia dipasrahin jaga rumah yang memang gak ada siapa-siapa lagi kalau simbah keluar, la wong simbah sudah lama jomblo iks.
Sejam menunggu akhirnya simbah pulang, raut wajahnya nampak aneh, kadang tegang kadang kendur, kadang tersipu, dih misteri apakah ini.
"Halo, Mbah. Yuhu ..., " ledek Bejo.
"Hust, jangan ganggu simbah dulu!" Mbah nesu alias marah.
"Cie ..., ada yang nesu nih muehehehe ..., " ujar Bejo ngeledek.
"Gini, Le. Simbah tak crita, tapi koe rahasiakan loh ya?" Ucap simbah sambil meletakkan bogemnya tepat ke muka Bejo.
"Iya, Mbah. Wes to ora usah ngecungi bogem, dih!" gerutunya.
"Gini nih, Le. Tadi simbah kopi darat sama Dewi Senja Sekali, waduh! Simbah isin luar biasa, Le!" Kata simbah dengan muka yang sulit digambarkan.
"Lah, malu kenapa to, Mbah? "
"Mrene, cedakno kupingmu! Aku emoh krungu wong liane." Bejo pun mendekatkan telinganya.
Tak lama kemudian mereka berdua tertawa terpingkal-pingkal. Kalau tak ingat usia, mungkin simbah sudah salto, dih jan nganeh-nganehi.
"Mbah, mbah. Seharusnya dari nama itu, simbah sudah tau siap itu Dewi Senja Sekali, " ujar Bejo dengan masih terkekeh, sesekali Bejo menengok celananya, siapa tahu ada yang rembes.
"Maksud kamu pie, Le?" muka simbah misteri sekali malam ini.
"Ngene, Mbah. Dengarkan loh ya, Dewi kui kan artinya perempuan, Senja kui iso diartikan tua, maaf loh mbah, " ujarnya sambil melirik muka lucu simbah.
"Iyo, wes lanjut maneh to!"
"Dewi Senja Sekali, nah Sekalinya itu brarti penegasan to mbah, waduh gak nyangka simbah habis ketemu sama cewek yang kenalan di kesbuk!" Bejo meledek.
"Lah itu, Le. Ketika simbah ketemuan, eh gak taunya kakak kelas mbah, jaman sekolah di SD dulu, mbelgedes tenan iks, lah wong nama aslinya itu Sumi, kok jadi Dewi Senja Sekali, mbelgedes! "
"Ya kan sama kalih simbah, namanya di ganti Lelaki Kesepian, mbelgedes!" 'ups' Bejo menutup mulutnya.
Simbah nesu, sepeda onthel kesayangannya hampir saja ia lempar ke arah Bejo, untung anak itu larinya kenceng banget, simbah duduk di bawah pohon asem, sambil sesekali tertawa terkekeh-kekeh.
"Awas mbah ngompol ...!" suara teriakan Bejo nyaring terdengar.
"Semproool ..., cucu durhaka koe, Le! "
Malam terus berjalan, meninggalkan kisah Bejo dan simbah, entahlah besok cerita apa lagi yang akan di suguhkan manusia kepada malam.
Tegal 04 /06 /2017
Prosais (Wigati)
Wigati Tumbuh Dewasa
Masih terngiang derai tangismu memecah sunyi, membangunkan lelap tidur Ayah dan Ibumu, sebotol susu itu telah habis kau reguk ternyata.
Kau bidadari kecil di tengah gelisah Ayah dan Ibumu, di saat hidup sedang tidak berpihak kepada mereka.
Tahukah kau Wigati? Cucuran keringat mereka habis untuk susu yang kau minum setiap hari, membeli makanan pabrik biar kau seperti layaknya anak-anak yang lain.
Airmata Ayah dan Ibumu mungkin saja telah mengering, demi menumbuhkan kau menjadi bidadari yang cantik tanpa kekurangan gizi.
Tulang - tulang Ayah dan Ibumu terkoyak beban yang melebihi kapasitas, itu demi baju-baju yang melekat di tubuhmu, sebab mereka tak ingin kau terlihat lusuh di antara riuh tawa anak - anak yang lain.
Baca juga: cerita-pendek-mawar-ingin-sekolah.
Kau pun tumbuh menjelma bidadari cantik dengan lesung pipit yang terwarisj dari Ibumu, Ibumu yang semakin menua dimakan usia, Ibumu yang tak terurus karena semua demi kau. Tahukah kau, Wigati?
Kini kau menjelma gadis, layaknya kembang yang mekar, mengeluarkan aroma mewangi, memikat setiap kumbang yang melihat kau.
Kau ranum yang terbentuk dari kasih sayang Ayah dan Ibumu, kau menjelma perawan elok seelok bulan purnama, kau memiliki segala apa yang kau mau. Meski Ayah dan Ibumu perlahan lemah sebab telah habis seluruhnya tercurah untukmu.
Kau kini telah dipetik sebagai mempelai wanita, duduk bersanding bagai ratu, bertahta kebahagiaan yang telah terbingkai dalam kepalamu.
Tahukah kau Wigati, pelupuk kedua orangtuamu telah basah oleh airmata, meski mereka tak rela melepas kau, namun semua itu memang harus terjadi.
Ingatlah kau Wigati, sayangi Ayah dan Ibumu. Walau rasa yang kau miliki telah terbagi, namun Ayah dan Ibumu adalah cinta sejati yang kau miliki, mereka kekal sepanjang waktu.
23/04/2018
Subscribe to:
Posts (Atom)
Tamu Prosa Blog Dbanik
Judul : Masih Sanggupkah Kau Bertahan? Karya : Dian Ahmad Tatap mata yang kian meredup, menampakan duka yang sepertinya menoreh telalu dala...
-
Resep Tahini Brownies Halo sobat blogger semua, kita jumpa lagi di kesempatan ini ya, dan kali ini saya akan memberikan resep tahini ...
-
Resep Membuat Glotak Makanan Khas Tegal Kali ini saya akan membagi resep glotak, makanan khas Tegal yang tentunya sangat lezat dan ni...
-
Kumpulan Flash Fiction Contoh. Di Ruang Tunggu. Aku terdiam meskipun duduk bersebelahan dengan Ayah. Bukan karena aku tak sayang,...