iklan
Cerita Pendek Kisah Cinta
Apa Ini Yang Dinamakan Cinta
Pernah suatu hari kita berbincang, saat kita tengah bersua di satu malam yang tidak terlalu bersahabat, sebab ada mendung yang bergelayut resah di kelam langit kota tempat kita bertemu, sesekali ada sambaran kilat yang pecah menyebar, membuat angkasa sejenak bercahaya.
Kau duduk di depanku saat itu, menghadap tepat ke wajahku yang terpapar cahaya temaram lampu kota, aku sendiri tidak pernah bisa mengartikan apa itu senyum yang kau berikan padaku malam itu, aku selalu berharap itu bukan senyum bermuatan cinta, aku sudah cukup memiliki May, sebagai cinta terakhirku.
Baca juga: kumpulan-cerita-flash-fiction.
Kita memang seringkali bertemu, namun aku hanya sebagai tempat kau bercerita tentang semua kelu kesah yang kau hadapi, selepas suamimu pergi meninggalkanmu, kau marah! Kau lampiaskan kekesalan demi kekesalan pada waktu temu yang kita sepakati. Bukan untuk sebuah kencan, namun murni sebagai sarana kamu melampiaskan semuanya tentang Dion mantanmu.
Istriku tidak pernah tahu akan hal ini, bukan karena aku mau menghianatinya, bukan aku ingin menyakitinya, tapi aku lebih menjaga perasaannya, aku tidak akan memberi tahu sebab aku ingin hubunganku baik - baik saja, dan aku juga menganggap perempuan itu benar-benar hanya butuh teman curhat, itu saja tidak lebih. Hingga tak sadar semua berlangsung begitu cukup lama, dan semua masih dalam kondisi yang terkendali.
Tahun kedua adalah masa - masa sulit yang kuhadapi, di mana hati ini muncul gejolak yang begitu hebatnya, rasa yang terlahir dari temu - temu yang sering kami lakukan, dan akhirnya pada suatu hari, perempuan itu mencintaiku, dengan terang-terangan tanpa tedeng aling-aling.
"Mas, aku mencintaimu!"
Aku terdiam, mulutku mulai kelu, ini yang aku takutkan dan akhirnya terjadi, di taman itu awal kita berjumpa sudah kukatakan, agar ia tak menyimpan bara asmara untukku, dan aku berulangkali mengatakan itu kepadanya, namun apa? Malam itu kau dengan wajah memelas mengatakan seluruh isi hatimu.
"Aku sudah beristri, dan kau tahu itu!"
Ia menggeleng tanda tidak peduli dengan apa yang aku katakan, aku kelimpungan mendapati situasi seperti itu, kuhempaskan asap rokok setinggi mungkin, kuhirup lagi asap rokok yang ada di sela-sela jemariku. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana, ingin rasanya aku berlari sejauh mungkin saat itu, namun ia pun tengah berada dalam kondisi jiwa yang rapuh.
"Kita jalani saja seperti ini, Mas. Aku tidak akan menuntut lebih, aku tahu kau sayang sekali sama istrimu."
Apa aku harus berteriak menyalahkan ketololanku ini, jika pertemuan demi pertemuan, kenyamanan demi kenyamanan yang aku berikan kepadanya, pastilah akan melahirkan perasaan seperti apa yang sebenarnya tidak aku inginkan.
"Baiklah, aku terima. Dengan catatan, kau tetap mencari pengganti Dion mantan suamimu."
"Aku setuju, Mas."
"Ingat, jangan pernah berharap lebih dari aku, sebab aku tidak mungkin pergi meninggalkan orang yang aku cintai demi kamu."
Kau mengangguk, lalu menatapku dengan senyuman yang akhirnya aku tahu maknanya, jika kau sebenarnya sudah lama menyimpan perasaan itu terhadapku, hanya saja kau masih mampu menahan untuk tidak mengatakannya kepadaku. Namun sekarang semuanya sudah sangat jelas, dan aku pun akhirnya mengerti.
Kita akhirnya mengikrarkan diri menjadi sepasang kekasih, pada malam yang begitu larut, lewat pecahan tawa-tawa kecil yang keluar dari ponsel, hingga waktu ke waktu dan akhirnya kita pun menggila. Sebab aku semakin larut masuk ke dalam hubungan yang tak seharusnya terjadi, meski tidak berbuat yang tak senonoh karena kita sepakat untuk saling menjaga itu, namun perhatianku kepadanya mengalahkan perhatianku terhadap istri yang setiap hari berada di dekatku, suami macam apa aku ini!
Aku tersentak saat kau menginginkan untuk hidup bersama, menginginkan adanya pernikahan, sebab katamu aku begitu berarti untukmu.
"Tidak! Aku katakan tidak!"
Percakapan yang cukup memanas via ponsel seperti biasanya, pada malam - malam yang sepi dan lengang tanpa ada siapa pun, hanya ada percakapan antara aku dan dia, hingga tak jarang telinga terasa panas akibat terlalu lama menempelkan ponsel di telinga.
"Aku tidak bisa lepas darimu, Mas!"
"Ini diluar kuasaku! Aku tidak tahu harus ngapain?!"
"Kita menikah, Mas!"
"Tidak, aku tidak mau, meski aku mencintaimu, namun rasanya tidak mungkin aku meninggalkan istriku!"
Perdebatan demi perdebatan pun akhirnya menjadi warna yang kelam pada setiap malam - malamku, aku menjadi dihantui ketakutan demi ketakutan jika tiba-tiba istriku tahu, ah aku benar-benar stres dibuatnya!
"Kita selesaikan saja, aku memutuskan untuk melupakanmu!"
Dia menangis sesenggukan, suaranya sangat begitu jelas terdengar melalui ponsel yang tengah kubiarkan tergeletak di atas meja dengan posisi masih menyala, hingga tangismu usai dan ponsel itu mati dengan sendirinya.
Sekian lama aku masih merawat luka yang telah kau sebabkan, meski berat namun ini harus terjadi, aku tidak ingin membiarkan cintamu terus tumbuh dan rimbun di hatiku, aku tak mau kau menutup seluruh rasa cintaku kepada istri yang sudah kumiliki, aku ingin tetap mencintaimu, namun bukan untuk memiliki, dan aku selalu berharap agar kau cepat menemukan seseorang yang begitu menyangimu, dan tentunya itu bukan aku.
NB: ini hanya cerita fiktif belaka, dan jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat, ini benar-benar tidak disengaja.
Tegal 29/05/18
Kumpulan Prosais
Katamu
Katamu, kita harus sabar menunggu waktu, lalu sabar yang seperti apa yang kau harapkan?
Masih ingatkah kamu, saat di tiga simpang jalan dulu? Awal aku dan kamu saling mengenal satu sama lain, sebab kamu terlihat gusar memilih jalan mana yang akan kau tuju?
Itu sudah tiga tahun lebih dua setengah bulan, kekasih! Seperti baru kemarin saja cerita itu kita mulai kan? Namun ternyata sudah banyak waktu yang kita lipat bersama, menumpahkan cerita demi cerita kita.
Sekarang Katamu aku harus menunggu kembali, seperti waktu yang sudah-sudah, kamu selalu beralasan yang sama, jika kamu masih butuh waktu untuk berpikir ulang, tentang rasa yang seharusnya sudah terbentuk sedemikian rupa, oleh pahatan-pahatan kisah manis kita.
Aku ingin sekali datang ke rumah kamu, menunjukkan seperti apa aku di mata kedua orangtuamu, meskipun akan ada pertanyaan - pertanyaan yang membuatku lelah, namun aku sudah begitu siap menerima segala konsekuensi yang akan saya terima. Yakinlah akan hal itu, kekasih!
Tapi percuma saja jika mulutmu masih terkunci, menyebabkan aku seperti di antara dua dimensi, antara nyata atau tidak? Menjadikan aku seperti berjalan di atas angin, yang sesekali harus menyeimbangkan diri agar tidak terjatuh, apa harus seperti ini mencintaimu?
Katamu aku harus terus bersabar, hingga waktu yang kamu sendiri bilang entah! Lalu apa aku harus terus begini? Menyandang gelisah lantaran usia terus saja memakan jatahku hidup di bumi ini, apakah kamu tidak ada rasa iba? Dengan membuatku terus - terusan mengharap sesuatu yang tidak bisa aku duga, aku harus bagaimana, Kekasih?
Kemarin akhirnya aku selesaikan semua, di antara riuh ramai para tetanggamu yang datang untuk berhalal bi halal, aku sudah duduk di sofa ruang tamu keluargamu, aku terdiam merenungkan, tentang segala kemungkinan yang akan aku hadapi. Kau terlihat gelisah, menatapku dengan rasa cemas.
"Hei! Ada apa dengan kamu, Kekasih?"
Aku bisikan pertanyaan itu, kamu tertunduk lemas, aku semakin yakin, jika aku tidak akan pernah menjadi bagian dari keluargamu. Lihatlah sorot matamu, begitu kosong tidak seperti biasanya, kau menjadi pendiam dan tak ada canda-canda yang seperti biasanya kau lakukan terhadap aku!
Kini aku mengerti semua alasan yang aku anggap tidak masuk akal, dengan menahah segala keinginanku untuk menemui kedu orangtuamu. Betul! Mereka menolak aku menjadi bagian dari mereka, mereka terlalu naif memandangku, iya! Memang betul aku bukan apa-apa, namun aku tidak mau dipersalahkan atas rasa cinta yang begitu kuat tumbuh di dalam hatiku!
Aku pulang dihantar desah tangismu, rasanya begitu menyayat hati aku sakit! Aku terluka! Dan aku tidak mendapatkan apapun selain cibiran tentang aku. Aku melangkah dengan begitu berat meninggalkan rumahmu yang bercat putih, berpagar besi dan penuh dengan keangkuhan yang tercipta dari bahasa kedua orangtuamu, dan aku benar-benar menganggap ini tak adil!
"Aku pulang, Kekasih."
Langkahku tak sama lagi, sebab ada beban baru yang mesti aku tanggung, sebuah rasa sakit yang teramat, hingga langkah ini terasa gontai, seluruh yang kulihat di depanku seakan menertawakan ketololanku saat itu, hingga aku ingin berteriak memaki diriku sendiri.
Cerita kita masih berlanjut, Kekasih! Sebab kita sudah saling mencintai, tanpa ada syarat - syarat seperti apa yang telah kedu orangtuamu katakan kepadaku malam itu, kita hanya tinggal menunggu waktu, hingga Tuhan yang akan membuka seluruh jalan untuk aku mendapatkan kau, Kekasih!
19/06/18
Baca juga: prosais-nisanak.
Malam Yang Entah
Entah kenapa malam ini aku ingin sekali berpuisi, memuisikan apa saja tentang kamu, kamu yang pernah singgah di hati, sebagai kekasih.
Semua memang sudah tidak seindah dulu, karena jalan kita pun sudah tak sama lagi, namun kerinduan akan kamu seringkali mengganggu di saat aku tengah sendiri memeluk sepi, seperti malam ini.
Aku pernah memanggil kamu "kekasih" dan itu teramat dalam dari hati yang paling dalam, sebab aku tidak pernah main - main kalau soal rasa, karena aku tahu rasanya patah hati, yang telah berkali-kali pernah menghantamku.
Kita memang akhirnya memilih untuk saling melupakan, karena sesuatu hal, bukan lantaran aku atau kamu saling menyakiti, namun hanya soal waktu saja yang tidak tepat atas pertemuan kita.
Jujur, hingga saat ini aku masih tidak mengerti, atas takdir yang membuat kita sampai begini? Kita bagai melukis cinta di atas air, namun sejenak hilang terbawa riak yang disebabkan gerak angin.
Aku entah, dan kamu juga entah soal rasa, kita sama-sama tidak tahu kenapa semuanya terjadi begitu saja, tanpa kita sadari semua sudah terlalu larut dan menyebar di segala penjuru hati, hingga seakan kita lupa akan apa yang ada di belakang kita.
Malam ini aku teramat rindu sapa di antara kita, di saat hening mulai hadir menyergap, lalu kita bercengkerama di kisi - kisi waktu yang ada, meski tanpa sentuh, namun kita seakan berada pada satu dimensi ruang dan waktu.
Kekasih, yang dulu pernah singgah, malam ini aku merindumu, aku tidak tahu mesti senang atau sedih, sebab itu sudah tidak penting lagi, sebab rindu ini hanya akan berlalu begitu saja, dan tak akan pernah ada jamah dari kamu.
Aku sudah melarung semua kisah yang pernah aku dan kamu ciptakan bersama, dan aku pun sebenarnya ingin sekali melupakan apa saja yang pernah terjadi, hingga rasa ini sama persis ketika aku belum mengenalmu.
Semoga kelak tidak akan pernah ada cerita seperti ini lagi, aku sudah begitu lelah. Aku telah jatuh ke dalam lautan fantasti yang cuma menghasilkan euporia sesaat saja, dan itu sungguh membuatku semakin sadar, jika aku tidak akan pernah lagi untuk mengulangi kisah yang sama.
Cukup denganmu saja aku begini, tidak dengan siapa pun juga kelak, itu yang selalu aku pinta, sebab apa - apa yang pernah kita ciptakan bersama, kini menjadi luka yang begitu membekas dalam hidupku, hingga butuh waktu lama untuk mengembalikannya seperti sedia kala.
Selamat malam buat kamu yang pernah aku panggil kekasih, aku hanya ingin kamu tidak terluka seperti aku, sebab kau butuh lelaki selain aku, dan jalanmu masih terlampau panjang, teruskan melangkah dan jangan berhenti di aku. Pergilah...
Tegal 19/06/18
AKU
Seminggu sudah aku menelan getir, rasanya begitu pahit menghujam Qalbu, jangankan nyenyak, makanpun terasa hambar, bagai di paksa mengunyah pil pahit saja! Aku mengerang, namun batin masih sama, kosong!
Semilir angin, hanya mendinginkan ragaku, tapi tidak dengan hatiku, aku terpuruk saja bagai kain tak berpola, teronggok di cucian baju kotor! Ah! Aku kepayahan!
Hari ini, aku coba tafakur menunduk di hadapan Illahi, memohonkan diri sendiri, atas ketololanku! Yang sudah jauh dari kasih- Nya, aku menggila di rundung duka, padahal itu tak boleh terjadi! Ya Rabb ampuni aku.
Sudah! Aku sudah lelah, lelah dengan semua ini, telaga air mata sudah mengering, aku menunggu guyuran hujan, agar telagaku kembali teduh, tak lagi kerontang! Ku hempas saja perih ini, ku telan saja pil pahit hidupku, sekali telan saja, biar pahitnya cepat lenyap!
Aku, mau menjemput pagi, laksana katak menanti hujan, aku akan terbahak menyanyikan lagu kehidupan! Tak akan ada lagi perih, semua rasa coba ku netralkan, penawar segala racun kehidupan, adalah tetap bersyukur, bersyukur atas ketetapan- Nya.
Dwi Bani Khalman 15052016
Subscribe to:
Posts (Atom)
Tamu Prosa Blog Dbanik
Judul : Masih Sanggupkah Kau Bertahan? Karya : Dian Ahmad Tatap mata yang kian meredup, menampakan duka yang sepertinya menoreh telalu dala...
-
Resep Tahini Brownies Halo sobat blogger semua, kita jumpa lagi di kesempatan ini ya, dan kali ini saya akan memberikan resep tahini ...
-
Resep Membuat Glotak Makanan Khas Tegal Kali ini saya akan membagi resep glotak, makanan khas Tegal yang tentunya sangat lezat dan ni...
-
Kumpulan Flash Fiction Contoh. Di Ruang Tunggu. Aku terdiam meskipun duduk bersebelahan dengan Ayah. Bukan karena aku tak sayang,...