rujakangkung

iklan

(Cerpen-Singkat) Ibu Perempuan Hebat.

(Cerpen-Singkat) Ibu Perempuan Hebat.


(Cerita Pendek- Singkat) #kisah_inspirasi

Judul: Ibu Perempuan Hebat.


Ada sebuah keluarga, sebut saja mereka itu keluarga kolangkaling, keluarga yang nampak bahagia sekali. Keluarga kolangkaling adalah sepasang suami istri dengan kelima anak-anaknya.


Mereka hidup bahagia sekali, apalagi dengan lima anak yang lucu - lucu, dan kebetulan jarak usia anak-anaknya juga tidak terpaut jauh, jadi bisa kita bayangkan betapa penuh canda tawanya keluarga tersebut.


Anak-anak dari keluarga kolangkaling pun kian hari kian tumbuh, mereka menjalani kehidupan selayaknya keluarga lainnya, anak-anak mereka pun semua masuk sekolah. Hingga anak yang paling kecil juga sudah masuk sekolah dasar, kelas satu.


Seiring sejalan, orangtua keluarga kolangkaling merasakan beban hidup, sebab kebutuhan kian meningkat saja, belum dengan beban menyekolahkan kelima anak-anaknya. Suaminya hanya pegawai rendahan di salah satu perusahaan swasta yang ada di kota tempat mereka tinggal, dan Ibu mereka akhirnya ikut turun mencari tambahan uang belanja, dengan jalan berjualan gorengan.


Hidup memang tak segampang yang terlihat, sebab hidup memang membutuhkan apa itu yang dinamakan perjuangan. Begitu juga dengan keluarga kolangkaling, mereka butuh kerja keras, untuk menghidupi kelima anak-anaknya, sedangkan uang pemasukan yang diterima sang suami tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan.

"Apa yang harus kita lakukan, Mas? Meskipun aku sudah coba untuk menjual gorengan, namun masih saja tetap tidak mampu untuk menutupi kebutuhan."

"Entahlah, Dik. Mas juga masih terus berpikir keras, untuk mencari jalan keluar yang terbaik untuk keluarga kita."


Hari terus berlalu, sementara kehidupan juga terus berjalan. Dalam keterbatasan, keluarga kolangkaling tetap menjalani kehidupan dengan sabar dan tawakal, sebab, meskipun mereka serba kekurangan, namun untuk urusan ibadah, keluarga kolangkaling sangat ta'at.

"Bu, ada pekerjaan rumah yang harus dibawa buat besok ke sekolah."

Ibu tersenyum melihat anaknya yang paling kecil dan kebetulan masih sekolah di sekolah dasar.

"Apa itu, Nak?"

"Aku disuruh bawa tanaman dalam pot plastik, Bu."

"Memang kita punya potnya, Nak?"

"Tidak harus pakai pot kok, Bu. Malah disuruh pakai barang bekas, supaya kita juga bisa memanfaatkan barang bekas, terutama limbah plastik, Bu."

"Ya sudah, kalau begitu kamu cari botol bekas air mineral saja, Nak."

Adi, anak bungsu dari keluarga kolangkaling itu segera bergegas untuk mencari botol plastik bekas air mineral di sekitar rumah.

Tidak beberapa lama kemudian ia kembali, dengan membawa sekitar empat botol plastik. Wajahnya berbinar, kemudian ia lari ke dapur untuk mengambil pisau.

"Nah, potnya sudah siap! Sekarang tinggal cari tanamannya, Bu."

Adi kembali bergegas untuk mencari tanaman yang akan ia taruh di dalam pot yang sudah ia siapkan.

Akhirnya tugas Adi selesai juga. Ia tampak bahagia, karena tugasnya sudah diselesaikan dengan cepat dan mudah. Ibu terdiam, diperhatikannya tugas anak bungsunya tersebut dengan mata yang tidak berkedip.

"Ada apa, Bu? Kok melihatnya seperti itu?"

"Ah, sekarang Ibu tahu, Nak. Apa yang harus Ibu lakukan untuk menghadapi kesulitan keluarga kita."

Adi hanya terdiam, mungkin saja karena masih kecil, jadi maklum jika Adi tidak mengerti atau juga tidak begitu tertarik dengan apa yang sedang dipikirkan oleh Ibunya.

"Nak, maukah kamu membantu Ibu?"

"Membantu apa, Bu?"

"Kita bertani di rumah kita!"

"Maksud, Ibu?"

"Ibu menjadi punya ide, setelah melihat tugas kamu, Nak. Kita menanam sayuran di halaman rumah kita."

"Tapi kan di depan tidak terlalu lebar halamannya, Bu."

"Makannya, Ibu sekarang menjadi tahu, setelah melihat tugas sekolahmu. Kita menanam dengan cara tersebut."

"Oh iya ya, Bu. Adi mau kok kalau harus mencari botol bekas air mineral sepulang sekolah!"

"Iya, kita lakukan mulai besok, Nak."

Hari - hari pun berlalu, dan sejak saat itu Ibu keluarga kolangkaling pun menjadi memiliki kegiatan baru, setelah selesai berjualan gorengan, yaitu dengan bercocok tanam di sekitar rumah, bahkan seluruh keluarga juga ikut serta.

Setiap hari ada saja barang - barang bekas yang dibawa anggota keluarganya, barang bekas yang bisa dijadikan tempat atau wadah pengganti pot. Dari botol bekas air mineral, ember cat, ember bekas, dan lain sebagainya. Bahkan tetangga yang simpati juga ikut menyumbang barang bekas, untuk pengganti pot tanaman.

Minggu berganti, bulan pun berganti. Rumah keluarga kolangkaling tampak begitu hijau, banyak sekali jenis sayuran yang ditanam seadanya, namun pertumbuhannya ternyata sangat bagus, padahal mereka hanya mengandalkan pupuk dari kotoran hewan, yang kebetulan juga dapat dikasih dari para tetangga yang kebetulan memelihara unggas.


Sejak saat itu, keluarga kolangkaling tidak lagi kesulitan pangan, karena mereka sudah menanam banyak varian sayuran di sekitar rumah, dan tidak hanya itu, keluarga kolangkaling akhirnya bisa berbagi dengan para tetangga yang membutuhkan sayuran, dan ada juga yang sengaja datang untuk membeli sayuran, meskipun niat dari keluarga kolangkaling menanam adalah untuk mengatasi darurat pangan di keluarganya, namun ternyata kebun sederhananya juga ternyata menghasilkan uang.

Keluarga itu akhirnya menjadi panutan bagi banyak keluarga di sekitar kampungnya, banyak yang berlomba-lomba menghijaukan rumahnya dengan menanam berbagai sayuran seperti halnya keluarga kolangkaling.


NB: ini hanya cerita fiktif belaka, dan jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat, ini benar-benar tidak disengaja.

Pic. Free-photos/pixbay.com

22/12 /2018

(Belajar Prosais) Ibu, Saat Engkau Terluka.


(Sebuah Prosa) Ibu, Perempuan Terhebat Dalam Hidupku.


(Belajar Prosais) Ibu Saat Engkau Terluka. 



Ini sudah kesekian kalinya engkau meradang merasakan sakit yang begitu hebatnya. Aku terdiam menatap layu wajahmu. Tidak ada yang bisa aku buat, selain melinangkan airmata.


Ragamu begitu lemah terbaring di ranjang sebuah rumah sakit, tak ada jerit kesakitan, yang ada engkau terus menerus malafalkan Asma Allah, bersama tetesan airmatamu.


Perih dadaku, melihat engkau tak berdaya, dipeluk sakit yang tak kunjung pergi. Dan aku tak bisa berbuat apa-apa.


Ruangan rumah sakit itu pun telah banyak menyimpan isak tangisku, isak tangismu, Ibu. Hingga aku sudah tak mampu lagi membedakan siang pun malam.


"Ibu, aku rindu omelanmu."

"Ibu, aku rindu sapa halusmu."

"Ibu, aku rindu tawamu."

"Ibu, aku rindu semua yang ada pada engkau."


Sungguh aku seperti gila! Aku serupa mati! Melihat perempuan yang melahirkanku begitu tak berdayanya melawan kesakitan.


Sudah kutumpahkan airmata, sudah aku langitkan doa-doa, memohon agar engkau bisa kembali bersamaku, menjadi pelita yang tak akan pernah padam.


Sungguh aku tak kuasa! Aku bingung bukan kepalang, menimang gundah yang tiada henti menggores jiwa yang terdalam.


Akhirnya tangisku pecah di hening subuh, engkau pun pergi meninggalkan aku, Allah memanggil engkau, di saat segala kasih dan sayang yang engkau berikan belum mampu aku balas.


Kini engkau telah bersemayam di tanah sunyi, berpayung semboja. Meninggalkan segala kenangan yang tak mungkin hilang digerus masa.


Kelak, aku ingin bersama engkau Ibu, kembali bercengkerama, kembali berkumpul, bertukar cerita, bertukar bahagia.


Pic. Avalonbear/pixbay.com


Debanik 22/12/2018

Tamu Prosa Blog Dbanik

Judul : Masih Sanggupkah Kau Bertahan? Karya : Dian Ahmad  Tatap mata yang kian meredup, menampakan duka yang sepertinya menoreh telalu dala...