rujakangkung

iklan

(CERPEN-Singkat) Judul: Mbok dan Tole


(CERPEN-Singkat) Judul: Judul: Mbok dan Tole
Pic. Google.com



(CERPEN-Singkat) Judul:Judul: Mbok dan Tole


Dari bangun tidur Tole sudah nemenin Si Mboknya yang sedang asik memasak di dapur, sepertinya ada yang ingin dibiarkan sama Si Mboknya.

"Mbok, tau ndak? Nanti kotak suaranya diganti pakai kardus?"

Tole mulai membuka percakapan pagi itu, padahal dia belum gosok gigi, apalagi mandi.

"Kotak suara apa to, Le?"

"Itu lho, Mbok. Buat PILPRES 2019, masa Mbok ndak tau?"

"Oalah, itu tho? Ya kamu juga kurang lengkap njelasin ke Si Mbok. Maklum, kan sudah tua, Le."

"Lha iya itu, Mbok. Apa ndak rawan rusak itu kotak suara?"

"Yo ndak tau, mungkin saja begitu. Kan siapa tau juga kardusnya sudah dirancang biar ndak cepet rusak, Le."

"Mosok? Lha kan kardus tetap tidak tahan air kalau pas musim hujan, Mbok. Apalagi kalau pas kirim ke daerah - daerah terpencil, apa yo ndak repot?"

"Ya bisa saja itu sudah diperhitungkan dengan sebaik mungkin, wis to ora usah khawatir, kan sudah ada petugas yang mengurus semua itu."

"Iya sih, Mbok. Tapi aku tetap masih mikir iki."

"Ya wis, kamu nanti mau pilih calon Presiden yang mana, Le?"

"Duh, ini rahasia to yaa."

"Sama Si Mbok pakai rahasia segala."

"Lha Si Mbok pilih siapa? Aku punya pilihan sendiri, Mbok. Siapa tahu pilihan kita itu sama."

"Mau tau banget ya kamu, Le?"

"Lha iya to, kan aku anakmu, Mbok."

"Kamu aja ndak mau kasih tau Si Mbok."

Si Mbok tersenyum simpul melihat anaknya yang garuk-garuk kepala itu, padahal sepertinya anak Si Mbok tidak ketombean.

"Ya udah sini aku bisikin saja ya, Mbok."

"Oalah, pakai bisikan segala to yaa, ya sudah bisikan sini."

Si Mbok manggut-manggut sambil senyum, ternyata pilihan mereka sama.

"Sama to, Le. Si Mbok juga pilih yang tadi kamu bisikan ke telinga Si Mbok."

"Syukurlah kalau sama ya, Mbok. Kan kita sehati, he he he he...,"

"Iya, kamu kan anaknya Si Mbok. Jadi wajar jika ada kesamaan lah, Le."

Si Mbok tertawa geli melihat muka lucu anaknya. Mereka memang suka curhat di dapur, kata Tole nemenin Si Mbok masak sambil bercerita itu asik. Dan kata Tole juga, masakannya jadi lebih cepat matang dan tambah sedap. Ada-ada saja. Hahahaha.

"Iya, tapi banyak juga yang beda pilihan meski satu rumah, Mbok. Mereka punya calon masing-masing, dengan alasannya masing-masing juga."

"Ya ndak apa-apa, kan pemilihan Presiden itu memang harus sesuai dengan pilihan hati, jadi ya bisa saja kalau ada perbedaan pilihan di antara keluarga."

"Iya juga ya, Mbok. Yang terpenting adalah tetap rukun."

"Nah itu kamu tau Le. Apapun pilihannya, meskipun berbeda, kita tetap saudara, sedarah, setanah air, jadi negara tetap aman, damai dan sentosa."

"Iya, Mbok. Namun aku suka sedih kalau membaca di sosial media, ada aja orang - orang yang saling menunjukan kelemahan masing-masing calon Presiden, kan aku jadi sedih, Mbok."

"Terus kamu ikut - ikutan?"

"Ndak, Mbok. Aku lebih suka diam memerhatikan, namun bukan berarti aku tidak peduli, Mbok. Aku cuma berharap, jika siapa pun nanti Presiden yang terpilih, negeri ini tetap baik - baik saja seperti sedia kala, Mbok."

"Aamiin...,"

"Hu um, Mbok. Kita adalah negara besar, negara dengan kekayaan alamnya, negara yang menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika, semoga itu untuk selamanya, Mbok. Hingga kelak aku punya cucu dan seterusnya."

"Aamiin...,"

"Duh, aku sampai lupa, Mbok. Kalau aku belum mandi ini. Kan mau berangkat kerja."

"Ya sudah sana kamu mandi, terus sarapan dulu sebelum berangkat kerja ya."

"Iya, Mbok. Siap laksana...!"

"Ya sudah sana cepat, ini sudah hampir jam setengah tujuh, nanti kamu telat."

"Iya, Mbok...."


Tole segera meraih handuk dan lari ke kamar mandi. Semoga tidak telat masuk kerja, karena keasikan ngobrol sama Si Mboknya.


NB: ini hanya cerita fiktif belaka, jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat, ini benar-benar tidak disengaja.




15/12/2018.

(Flash Fiction Contoh) Judul: Bulan Purnama.


(Flash Fiction Example) Judul: Bulan Purnama.


(Flash Fiction Example) Judul: Bulan Purnama.

Bulan bulat menggantung di langit, itu tandanya purnama telah tiba. Ario kembali cemas, seperti purnama - purnama sebelumnya.

"Ayah! Ini bulan purnama!"

Ario tersentak dari lamunannya, Amel begitu bersemangat mengabarkan perihal purnama, yang sebenarnya ia pun sudah tahu.

"Kenapa kamu tidak tidur saja, Nak. Bukankah ini sudah terlalu larut."

"Tidak, Amel tidak mau tidur, ayo kita jemput, Ibu!"

Ario terdiam, ia tak mampu menatap wajah anak perempuannya, ia tidak tahu harus bagaimana.

"Amel, kita tidur saja ya, purnama pasti akan datang lagi kok."

Lelaki itu mencoba membujuk anaknya, ia berharap itu akan berhasil, namun ternyata tidak.

"Amel mau menjemput, Ibu!"

Anak itu memang keras kepala, ia pun berlari ke luar, untuk menjemput Ibu di tempat yang pernah diceritakan oleh Ayahnya.

Ario pun segera mengejar, lelaki itu tidak punya pilihan lain selain mengikuti langkah anaknya.

"Berhenti, Nak. Tolong dengarkan Ayah!"

Amel sudah tidak mau mendengarkan lagi apa yang diucapkan Ayahnya, ia terus saja berjalan menuju sebuah tempat yang pernah diceritakan Ayahnya.

"Ayah, Amel sudah rindu, Ibu! Amel ingin mendengarkan kembali nyanyiannya!"

"Bagaimana kalau Ayah yang menyanyikannya, Nak!"

"Tidak! Amel ingin Ibu yang menyanyikan untukku!"

Anak itu mulai terisak, Ario mendekap erat putri kecilnya. Airmata Ario pun ikut luruh dari sudut - sudut matanya.

"Amel rindu, Ibu."

Tangisnya semakin menjadi, Ario terdiam. Sesekali ia mengusap airmata anaknya yang sudah tak terbendung itu.

"Boleh Ayah berbicara sesuatu, Nak."

Suara lelaki itu tampak berat sekali, sesaat ia pun ragu, namun semuanya harus di akhiri.

"Nak, dengarkan Ayah. Kamu harus tahu sekarang juga, karena Ayah sudah lelah menyimpan kebohongan ini kepadamu."

Ario memeluk putrinya, ia benamkan wajah anak itu di dadanya, ia ingin menjadi samudera yang mampu menenggelamkan kesedihan anaknya.

Perlahan Ario pun menyanyikan lagu 'Ambilkan Bulan, Bu' dan airmatanya pun kembali berlinang dari sudut - sudut matanya, namun ini lebih deras dari yang tadi.

"Tidak mau! Amel ingin Ibu yang menyanyikannya!"

Putri kecilnya semakin histeris, malam lengang pun seolah ikut haru menyaksikan mereka.

"Nak, Ibu tidak pernah pergi ke bulan seperti apa yang telah Ayah ceritakan kepadamu."

Ario menenggelamkan wajahnya, ia takut menatap mata anaknya yang seakan menghakiminya.

"Ayah bohong! Ayah bohong!"

Amel histeris, ia pukul lengan Ayahnya berulangkali, sambil terus mengucapkan kata 'Ayah bohong!'

Ario mendekap erat Amel, lelaki itu pun bingung, namun semua harus berakhir malam ini juga, sebab ia tak ingin kebohongan ini terus berlanjut.

"Kita sudah meninggal, Nak. Dunia kita dan Ibumu pun sudah berbeda."



NB: Ini hanya kisah fiktif belaka, jika ada kesamaan nama tokoh dn tempat, ini benar-benar tidak disengaja.


13/12/18.

Tamu Prosa Blog Dbanik

Judul : Masih Sanggupkah Kau Bertahan? Karya : Dian Ahmad  Tatap mata yang kian meredup, menampakan duka yang sepertinya menoreh telalu dala...