rujakangkung

iklan

(Sebuah Prosa) Kisah Semalam.


(Prosais) Kisah Semalam.

(Prosais) Kisah Semalam.


Semalam ada perempuan berayun dalam sepi, matanya kosong tanpa ada cahaya apa pun di sana. Sesekali ia menundukkan kepala lalu kembali menatap lurus, entah apa yang sedang ia kerjakan!

Sementara angin yang berembus menggerakkan rambutnya yang lusuh tak terurus, sepertinya tidak ada air saja yang jatuh kepada rambutnya, sehingga jelas terlihat begitu berdakinya rambut miliki perempuan itu.

Pada hening malam tiada yang dilakukan selain tertawa dan merintih, bagai suara dawai menyuarakan kunci minor berkepanjangan. Ah, ini teramat ngilu jika terdengar!

Perempuan dalam hening malam, berayun pada pohon tua, menunggu apa, mencari apa, tiada yang tahu. Mungkin saja ia sedang enggan bermain bersama bocah - bocah gundul yang sedang menunggu di bawah pohon, selepas mereka memberikan kebahagiaan kepada tuan - tuan yang merawatnya. Ah, dunia apa itu?!

Perempuan itu terus berayun hingga waktu bergulir, membiarkan lalu lalang koloninya, sebab ia memang suka menyendiri. Ia lebih senang tertawa maupun menangis, bukan yang lainnya.

Malam hampir tiris, suara ayam pejantan sudah riuh memecah hening, sebentar lagi matahari turun dari peraduan, sebab ia meski beranjak menemui senja, yang selalu setia menanti di ufuk Barat.

Perempuan itu mulai gelisah, matahari adalah indah yang tidak ia dambakan! Sebab baginya gelap dan sunyi adalah rumah. Kesepian adalah jubah, yang selalu menemani ke mana ia pergi.

Cling!

Perempuan itu pun menghilang. Tinggalah pohon tua yang begitu bersemangat menyambut sinar sang surya, sebab sinar surya adalah bagian dari kehidupannya, demi sebuah fotosintetis untuk kelangsungan hidupnya, demi orang - orang yang membutuhkan keteduhan pada rimbunnya, saat terik mentari berada di atas kepala.

Perempuan itu hilang begitu saja, tanpa ada yang tahu ke mana ia pergi. Apa kamu tau ia ke mana?


NB :Ini hanya kisah fiksi semata, jika ada kesamaan nama dan tokoh, ini benar-benar tidak disengaja.

NB: ini hanya cerita fiktif belaka, dan jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat, ini benar-benar tidak disengaja.


09/12/2018

(CERPEN SINGKAT) Di Ujung Senja.


(CERPEN) Di Ujung Senja.

(CERPEN SINGKAT) Di Ujung Senja


Pagi ini udara begitu segarnya, semalam hujan turun hingga di bibir pagi. Jadi wajar jika pagi ini udara memang terasa lebih sejuk dari biasanya, ditingkahi bulir-bulir embun yang bergelayut manja, di pucuk - pucuk daun di depan rumah perempuan kenes yang bernama Utari.

"Aku harus segera melakukannya! Harus!"

Utari tampak mengepalkan tangannya, sepertinya ada energi yang memberikan ia kekuatan, namun kekuatan untuk apa?

"Opa! Utari harus memulainya!"

Lelaki tua yang dipanggil Opa manggut-manggut, kemudian diraihnya secangkir kopi yang sudah hangat di atas meja dekat Opa duduk santai menikmati pagi.

"Apa kamu sudah yakin, Utari? Kemarin kamu bilang masih ragu, tapi sekarang sudah berubah saja keputusanmu."

Srupuut...

Opa menyeruput kopi lalu kembali meletakkan cangkir di tatakannya. Wajahnya datar, meskipun Opa tengah memerhatikan cucu satu - satunya yang sudah ikut Opa, semenjak ke dua orangtua Utari meninggalkan dunia ini.

"Iya, Opa. Utari memang harus segera melakukannya. Opa kan tahu, jika Utari butuh banyak uang untuk masa depan."

Opa kembali manggut-manggut, entah apa yang sedang ada di dalam pikiran Opa.

"Utari, jika kamu sudah yakin, Opa izinkan kamu untuk pergi."

"Iya, Opa. Semoga Utari bisa sukses seperti teman - teman yang lain ya, Opa!"

"Aamiin...."

Opa kembali menyeruput kopinya, wajahnya tetap datar. Mungkin lelaki tua itu memang seperti itu, memiliki ekspresi wajah yang datar. Tapi... Ah, entahlah.


**

Bulan pun berganti, Opa duduk termenung di teras rumah. Matanya menatap kosong di kejauhan, apa yang sebenarnya sedang dipikikannya? Apa mungkin ada kerinduan yang dalam kepada cucunya, Utari?

Mungkin sudah seringkali Opa menghabiskan pagi maupun senja di beranda rumahnya, namun tidak segundah ini perasaannya. Mungkin saja karena kerinduan kepada Utari. Ada linangan airmata yang jatuh di sudut mata lelaki tua itu, sesekali ia mengusap dengan telapak tangannya yang sudah berkeriput itu.

"Pulanglah, Nak. Opa merindukanmu."

Desah Opa teramat lirih namun terdengar begitu menyayat. Kopi di atas meja itu belumlah tersentuh, mungkin saja Opa terlalu larut dalam kepedihan. Ada ketakutan yang terlintas di kepala, tentang kepergian Kinanti, anaknya, Ibunya Utari, yang pamit pergi ke luar kota dan tak pernah kembali.

"Apa yang sebenarnya kalian cari di tanah rantau? Apakah kelak yang aku tinggalkan tidak cukup untuk kalian?"

Opa berujar pelan. Lelaki itu memang tidak memiliki banyak harta, namun sepetak sawah, rumah dan kebun di belakang rumahnya, adalah harta yang kelak akan diberikan kepada Kinanti, Ibunya Utari. Apalagi ia memang hidup sendirian semenjak istrinya meninggal duapuluh tahun lalu.

Kinanti adalah anak satu - satunya. Kinanti memiliki satu anak yaitu Utari. Suami Kinanti juga meninggal lantaran kecelakaan, namun Kinanti menolak untuk menikah lagi, dan memilih pergi keluar kota untuk mencari pekerjaan, serta agar dia bisa melupakan banyak kenangan di rumah Opanya.

"Jika kalian memilih pergi dari rumah, lantas untuk apa semua yang sudah kuperjuangkan?"

Opa menghela napas. Matanya jauh menatap. Entahlah, tatap mata itu terlihat kosong. Hidupnya sunyi di masa-masa tuanya, masa yang sudah banyak merenggut kekuatan yang dimilikinya, kini hanya tinggal sisa-sisa tenaganya saja untuk menjalani kehidupan.

Sepetak sawah miliknya memang digarap oleh orang lain, begitu juga dengan ladang di belakang rumah, namun dari hasil tersebut Opa masih bisa menabung, ia sengaja mengumpulkan uang, sebab ia ingin menikahkan Utari, dan bisa tetap tinggal bersama untuk merawatnya.

"Semua sia-sia saja, Nak. Apa yang kuinginkan ternyata jauh dari harapanku. Duh, Gusti. Hamba memang hanya bisa berharap, namun semuanya adalah mutlak urusan-Mu. Hamba sadar itu duh, Gusti."

Linangan airmata lelaki tua itu semakin tidak bisa dibendung. Ia sesenggukan di kursi di teras rumah. Sendirian, hanya berteman sepi dan secangkir kopi yang sekarang sudah dingin.

"Kinanti, Utari, pulanglah kalian, aku ingin memeluk kalian."

Hari semakin larut, lelaki tua itu masih belum beranjak dari tempat duduknya. Ia biarkan badan rentanya dihantam angin yang memang sedang kencang saat itu, bahkan teriakan tetangga yang mengingatkannya untuk segera masuk ke rumah dan segera menutup pintu pun tak dihiraukan.

"Mbah! Cepat masuk!"

Teriakan Pidin tetangganya sudah tak didengarnya lagi, Pidin juga tidak berani keluar rumah, sebab angin kali ini bener-benar kencang dan menakutkan. Bahkan ada beberapa pohon yang tumbang, bahkan ada juga beberapa rumah yang roboh. Semua orang sibuk dengan kepanikan masing-masing, hingga akhirnya Opa pun terlupakan.

"Opa. Kami pulang!"

Opa terkejut, Utari dan Kinanti sudah berdiri tepat di hadapannya. Ia segera bangkit dan memeluk keduanya dengan erat sekali.

"Jangan tinggalkan Opa lagi ya, Nak!"

"Iya, Opa!"

"Iya, Pak!"

Jawab kedua perempuan di dekapannya itu. Tangis mereka pun pecah.

**

"Tolong...! Rumah Si Mbah ambruk!"

Pidin berteriak sekuatnya, kebetulan angin sudah berhenti berembus dengan kencang. Sontak warga yang lain berhamburan ke rumah lelaki tua itu.

Benar! Rumah Opa ambruk karena diterjang angin kencang yang tadi terjadi di desa tempatnya tinggal. Opa ditemukan tewas dengan posisi masih terduduk di kursi tuanya. Ada balok kayu yang menimpa kepalanya, sedangkan rumah bagian belakang dan tengah ambruk.

Iya, Opa meninggal dunia malam itu. Malam di mana ia tengah benar - benar merindukan orang yang ia sayang, yaitu Utari dan Kinanti.



NB : ini hanya cerita fiktif belaka dan jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat, ini benar-benar tidak disengaja.


Pic: Pasja1000/ pixbay.com

08/12/2018.

Tamu Prosa Blog Dbanik

Judul : Masih Sanggupkah Kau Bertahan? Karya : Dian Ahmad  Tatap mata yang kian meredup, menampakan duka yang sepertinya menoreh telalu dala...